Kompleksitas Kebakaran Hutan: Pemanasan Global, Kesehatan Masyarakat, Hingga Pandemi COVID-19


“Duh, Riau kebakaran hutan lagi!”, keluh teman kampusku yang berasal dari sana.

“Di sana emangnya sering kebakaran hutan ya?”, tanyaku penasaran

“Iya, lumayan sering saat kemarau tiba. Bahkan sekolah kami sering diliburkan kalau kondisinya sudah parah. Mana di sana panas banget lagi, ditambah ada asap!”

***

Aku menghabiskan masa kecilku di Bekasi. Kota yang akrab disapa “Kota Patriot” tersebut terasa sangat panas meskipun hari sudah malam. Masih kuingat betul nasihat mamah yang rutin diucapkan jika bulan Ramadhan tiba:

Ehhh, jangan buka kulkas terus!

Baru juga cuci kaki, kok udah cuci kaki lagi sih?

Masalahnya, emang cuacanya panas banget! Kipas angin tidak pernah absen menemani tidur malam kami. Kalau mati lampu, mamah sudah sedia kipas manual di tempat tidur.

Ketika lebaran tiba, kami rutin mengunjungi rumah kakek dan nenek di Dramaga, Bogor. Suasana di sini berbeda 180 derajat dibandingkan di Bekasi: luar biasa segar dan sejuk! Saking sejuknya, aku masih belum berani mandi meskipun jam sudah menunjukkan pukul 11 siang.

Setelah lulus SD, kami sekeluarga memutuskan pindah rumah ke daerah di mana kakek dan nenek tinggal. Kini rumah kami berdekatan sehingga tidak ada lagi mudik saat lebaran tiba. Hore, setiap hari bisa datang berkunjung ~

Namun pandanganku terhadap kota ini berubah, sedikit demi sedikit. Sebagai seseorang yang telah menghabiskan 10+ tahun di Bogor, aku mengamati sebuah perubahan yang cukup drastis: hari kok semakin panas? Aneh sekali, rasanya tubuh sangat gerah jika tidak mandi pagi!

Bumi kok Makin Panas?


Sekilas, pertanyaan tersebut terdengar seperti pertanyaan sederhana yang dilontarkan bibir polos anak-anak. Tanpa dosa, tanpa beban kehidupan.

Namun percayalah jawabannya sama sekali tidak sederhana.

Mungkin kita sama-sama pernah mendengar bahasa keren “Global Warming” atau “Pemanasan Global”. Nah, pada bagian selanjutnya kita akan gunakan pemanasan global saja ya agar lebih Indonesia, hehehe.

Pemanasan global merupakan salah satu fenomena alam yang semakin dikhawatirkan para pakar lingkungan. Bukan bualan semata, fenomena ini mampu mengarah ke dampak yang lebih serius yaitu perubahan iklim yang cakupannya hingga skala global.

Kehidupan di bumi adalah suatu sistem kompleks yang sengaja ditata apik oleh Sang Pencipta sehingga distorsi terhadap satu elemen saja bisa berakibat fatal terhadap keseimbangan alam, apalagi jika berlangsung terus menerus seperti pemanasan global saat ini.

Menurut data NASA, suhu rata-rata global menunjukkan tren yang terus meningkat sejak tahun 1950. Laju kenaikan suhu tersebut bahkan mengalami percepatan dalam beberapa dekade terakhir.

Beranjak dari urgensi tersebut, PBB melalui UNDP bahkan “menyempilkan” gagasan bernama “Climate Action” sebagai salah satu poin dalam SDGs 2030.
Tren Suhu Global (sumber bisa diklik: NASA)

Tak ada asap tanpa api, begitulah ucap sebuah pribahasa terkenal. Fenomena pemanasan global tidak datang tanpa diundang. Rasanya tidak berlebihan “menuduh” manusia sebagai aktor penyebab pemanasan global.

Apakah selama ini perkembangan umat manusia berjalan ke arah yang salah? Entah, pertanyaan itu lebih pantas direnungkan dibandingkan dijawab.

Di satu sisi, manusia “hanya” berusaha memanfaatkan apa yang disediakan alam untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tentu saja, saya yakin Tuhan memang sengaja menciptakan alam dan berbagai isinya untuk diberdayakan manusia. Tak ada yang salah dengan hal itu, bukan?

Mungkin tanpa disadari, kita sudah melangkahi “batas” yang seharusnya tidak diutak-atik.

Menyusuri Duduk Permasalahan


Fenomena pemanasan global tidak lepas dari ketergantungan manusia terhadap sumber energi tak ramah lingkungan berupa bahan bakar fosil (BBF).

BBF mampu menghasilkan energi melalui proses kimiawi yang disebut reaksi pembakaran. Panas yang dihasilkan dari proses tersebut lalu “dikonversi” menjadi bentuk energi yang lain seperti energi kinetik, energi listrik, dan sebagainya.

Sayangnya, energi bermanfaat bukanlah satu-satunya yang dihasilkan dari proses tersebut.

Ada banyak produk samping yang turut dihasilkan seperti gas seperti uap air, karbon dioksida, metana, serta nitrogen oksida. Gas tersebut familiar dengan sapaan “Gas Rumah Kaca”.

Embel-embel “rumah kaca” merujuk kepada kemiripan efek seperti yang dijumpai pada rumah kaca. Bangunan pertanian ini mampu memerangkap panas yang masuk ke dalamnya sehingga tanaman tetap bisa tumbuh meskipun suhu di luar sedang dingin. By the way, saya pernah masuk ke rumah kaca beneran lho. Panasnya berasa lagi di sauna, hehehe.

Di balik itu semua, Tuhan sudah menyiapkan skenarionya dengan apik. Tuhan menciptakan tumbuhan sebagai bioreaktor penyeimbang. Tumbuhan mampu memanfaatkan karbon dioksida dan uap air yang dihasilkan dari reaksi pembakaran, lalu menyulapnya menjadi oksigen dan karbohidrat.

Lihat kan? Sebenarnya alam memang sudah dirancang dengan sangat apik untuk mempertahankan keseimbangannya.

Keseimbangan tersebut hancur jika “penyebab” kerusakannya semakin bertambah dan/atau “penyembuhnya” semakin berkurang. Dengan kata lain, pemanasan global akan terus terjadi jika kita terus bergantung pada BBF dan/atau kita terus membabat habis hutan-hutan.

Mana yang lebih mungkin dieksekusi, mengurangi pemakaian BBF atau mengurangi pembabatan hutan?

Sampai saat ini, kita harus menerima sebuah kenyataan pahit bahwa sumber energi ramah lingkungan nan terbaharukan belum bisa terakses secara mudah dan murah. Beranjak dari sana, menekan eksploitasi hutan adalah hal yang lebih mungkin untuk dilakukan.

Menilik Fenomena Karhutla



Deforestasi massal menjelma menjadi permasalahan serius bagi negara-negara tropis termasuk Indonesia. Menurut jurnal Environmental Research Letter (2019), negara kita tergolong memiliki laju deforestasi terbesar di kawasan tropis sejak tahun 2001 hingga 2016.

Penyebab deforestasinya pun beragam, namun didominasi oleh pemanfaatan lahan untuk keperluan lain seperti budidaya. Sejalan dengan tujuan tersebut, bentuk deforestasi yang umum dijumpai adalah kebakaran hutan dan lahan alias karhutla.

Fenomena karhutla menjadi “rutinitas” yang tidak mengenakkan ketika musim kemarau tiba. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020), hanya provinsi DKI Jakarta saja yang tidak mengalami kasus kebakaran hutan dalam lima tahun terakhir.

Ya iyalah, wong Jakarta ndak punya hutan alami. Tentu saja bukan itu yang saya maksud. Hal yang ingin saya sampaikan semata-mata adalah urgensi penanganan karhutla.

Sini, saya sampaikan perhitungan kasar tentang dampak karhutla.

  • Sebanyak 97% provinsi di Indonesia pernah mengalami kasus karhutla dalam 5 tahun terakhir. 
  • Masih mengutip data yang sama dari KLHK, karhutla terbesar dialami pada tahun 2015 dengan luas sebesar 2.611.411,44 Ha. Angka tersebut hampir setara dengan 4 kali luas provinsi DKI Jakarta!
  • Dengan hutan seluas itu, terdapat sekitar 2,61 miliar pohon yang bisa tumbuh di sana (asumsi 1 Ha lahan bisa ditanami 1.000 pohon menurut NHS Forest, diambil nilai terkecil).
  • Jika diasumsikan 1 pohon bisa memproduksi 117,93 kg oksigen/tahun (data Growing Air Foundation), maka hutan tersebut mampu memproduksi 308 juta ton oksigen/tahun. 
  • Jika 1 ha hutan saja mampu menyedot 6,41 ton karbon/tahun (data Growing Air Foundation), bayangkan berapa jumlah karbon yang bisa dikonversi oleh hutan seluas 2,6 juta ha? Silakan hitung sendiri ya, hehehe. 
  • Sebagai pelengkap, ternyata semua kerugian tersebut bernilai lebih dari 200 triliun Rupiah.

Gimana, karhutla beneran masalah serius kan?

Karhutla, COVID-19, dan Kesehatan Masyarakat




Sungguh memprihatinkan jika mengetahui setiap tahunnya negara kita kehilangan jutaan hektar hutan, miliaran ton oksigen, sekaligus melepas miliaran ton karbon ke atmosfer. Tentu saja ini menimbulkan berbagai kerisauan yang sepatutnya dicari solusinya secara bersama-sama.

Menurut studi yang dilakukan oleh pakar Kehutanan IPB dan universitas di Amerika, karhutla mampu menghasilkan sekitar 90 jenis gas, di mana setidaknya 50 gas di antaranya tergolong beracun.

Keberadaan berbagai gas beracun tersebut, seperti furan dan hidrogen sianida, mampu berimbas kepada kesehatan masyarakat sekitar yang terus menerus terpapar dengan intensitas yang mengkhawatirkan.

Berbagai masalah kesehatan yang mungkin timbul seperti infeksi saluran pernafasan dan paru-paru (ISPA), pneumonia, asma, kanker, penurunan daya tahan tubuh, serta memperparah penyakit kronik seperti jantung, hati, dan ginjal.

Belum berhenti sampai di sana, keberadaan wabah COVID-19 juga dikhawatirkan mampu memperkeruh kondisi kesehatan masyarakat sekitar lokasi kebakaran hutan.

Kondisi badan yang tidak fit, penurunan daya tahan tubuh, serta prevalensi penyakit pernafasan yang tinggi semakin memperparah kondisi pasien terjangkit COVID-19.

Masyarakat harus terus meningkatkan kewaspadaan dengan menjaga daya tahan tubuh, menggunakan masker, rajin mencuci tangan, serta melakukan physical distancing secara efektif dengan penuh kesadaran.

Upaya Solutif



Sudah menjadi kewajiban kita semua sebagai segenap tumpah darah untuk menjaga bumi pertiwi agar tetap aman, damai, dan sentosa. Masalah karhutla merupakan masalah kompleks yang tidak bisa diselesaikan oleh instansi terkait saja sehingga peranan masyarakat sangat diperlukan.

Menurut Prof. Bambang Hero Saharjo, seorang guru besar Fakultas Kehutanan IPB, upaya pencegahan atau preventif merupakan strategi yang paling jitu dalam memerangi karhutla.

Hal ini disebabkan upaya preventif lebih mudah diterapkan dan dinilai lebih mampu menyelamatkan sumber daya alam Indonesia.

Sejauh ini garda terdepan penanganan karhutla dikomandoi pemerintah pusat melalui KLHK dan BNPB, dengan eksekusi yang didukung oleh pemerintah daerah, TNI, dan Polri.

Sejumlah tim khusus beranggotakan TNI dan Polri dikerahkan sebagai eksekutor lapangan yang turun langsung ke desa-desa yang dinilai rawan.

Selain itu, penerapan undang-undang juga perlu dilakukan secara tegas dan tidak pandang bulu. Implementasi regulasi yang tegas dan tidak pandang bulu seharusnya mampu menambal “kecolongan” sana-sini oleh oknum tak bertanggung jawab.

Terakhir, karhutla juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas agar ke depannya segenap elemen masyarakat mampu ikut membantu serta mengawal kinerja pemerintah dalam membasmi karhutla.

Keterlibatan masyarakat yang proaktif merupakan salah satu indikator bagi keberhasilan program konstruktif yang digagas pemerintah.

Penutup


Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

Referensi


Podcast Ruang Publik episode Kemarau dan Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi oleh KBR Prime

Freepik (sumber daya grafis)

Berbagai sumber lainnya, dengan tautan eksternal yang tercantum di artikel

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post