Krisis Iklim: Pertarungan yang Hampir Kalah Namun Masih Bisa Menang!

Kalau dipikir-pikir, amatlah beruntung umat manusia karena telah diciptakan untuk mengelola bumi, sebuah planet berwarna biru yang menyediakan sumber daya yang lengkap untuk menyokong kehidupan. Dibandingkan beberapa planet tetangga di tata surya, bumi memang tergolong planet kecil. Namun ternyata ketika planet lain dipenuhi gas beracun dan kondisi yang begitu ektrem, planet kita justru sangat ramah terhadap berbagai bentuk kehidupan.

Bumi menyediakan suhu yang ideal sehingga air bisa tersedia dalam bentuk cair. Komponen gas terbesar yang menyusun atmosfer bumi adalah nitrogen, suatu jenis gas yang inert dan tidak beracun. Di sini tersedua oksigen yang sangat cukup untuk bernafas, namun tidak berlebihan yang dapat menimbulkan korosi ekstrem dan kebakaran masif. Tentunya masih banyak nikmat lainnya yang tidak akan habis ditulis meskipun menggunakan seluruh air laut sebagai tintanya. Semua kebaikan alam yang melimpah di planet ini menjadi bukti akan kemurahan hati dari Sang Pencipta kepada manusia.

Sebagai makhluk yang berakal dan bermartabat, sudah seharusnya peradaban ini membawa manfaat bagi semua penghuni bumi, baik umat manusia generasi sekarang dan selanjutnya, hewan, bahkan hingga tumbuhan. Sebagai "titipan" dari Tuhan, semua sumber daya memang diciptakan agar dikelola sebijak mungkin.

Manusia tidak pernah puas. Kita terus menggali isi bumi, menyelam ke dasar samudera, hingga menggusur yang bukan seharusnya. Kita seolah tidak punya pilihan, apalagi laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi. Tentu dibutuhkan sumber daya yang begitu banyak hanya untuk sekadar mengenyangkan perut 7 miliar orang.

Namun ada harga yang sangat mahal untuk semua hal itu. Di saat kita sedang asik mengejar kehidupan, tanpa disadari alam semakin merintih. Perlahan dan lemah, namun semakin keras dan menggema ke seluruh dunia. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan mengundang krisis iklim yang dampaknya bisa kita rasakan.

Sebagai contoh, kita sudah tidak bisa memprediksi musim hujan padahal dulu musim ini selalu datang pada bulan berakhiran "ber". Contoh lainnya, apakah kamu merasakan hari-hari yang semakin gerah sehingga ingin bolak-balik ke kamar mandi untuk cuci muka?

Memangnya Bumi Lagi Kenapa?

Oke, kita coba bahas bareng-bareng yah. Semua cerita ini dimulai dari perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang industri dan kedokteran. Dahulu, seorang ibu rata-rata memiliki 4-6 orang anak namun hanya 2 orang yang bertahan hidup hingga dewasa. Ketika ilmu kedokteran berkembang, laju kematian bisa ditekan. Revolusi industri pada abad ke-18 serta akhir Perang Dunia ke-2 pada tahun 1945 membuat taraf kehidupan semakin aman dan sejahtera. Akibatnya, laju pertumbuhan penduduk kian membludak!

Semakin banyak penduduk artinya semakin banyak sumber daya alam yang dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, serta energi. Setiap tahunnya kita melepas miliaran ton karbon dioksida dan berbagai gas rumah kaca lainnya ke atmosfer dari pembakaran batubara dan minyak bumi. Gas rumah kaca dapat memerangkap panas yang masuk ke atmosfer sehingga secara akan menaikkan suhu permukaan bumi secara kontinu.

Menurut data World Meteorogical Organization (WMO) yang dipublikasikan pada tahun 2019, bumi kita lebih panas 1 derajat Celcius dibandingkan era sebelum revolusi industri. Jangan salah ya,  kenaikan 1 derajat Celcius saja sudah diperingatkan ilmuwan sebagai "unacceptable risk". Jika dibiarkan begitu saja, suhu bumi diperkirakan mengalami kenaikan hingga 3 derajat Celcius pada tahun 2100, yang mana akan mengakibatkan krisis ekosistem yang fatal dan tidak bisa diperbaiki lagi.

Kenaikan temperatur global memicu terjadinya pencairan gletser yang berujung pada peningkatan ketinggian permukaan laut. Menurut penelitian yang dimuat di jurnal Nature Communication, pada akhir abad ini diperkirakan permukaan air laut akan meningkat 2 meter! Sebanyak 2/3 kota metropolitan di dunia, termasuk Jakarta, dibangun dengan jarak 100 km dari tepi pantai sehingga menjadikannya rawan tenggelam. Kalau sudah begitu, jutaan orang harus mengungsi secara besar-besaran!

Demi mencegah armageddon tersebut, umat manusia harus bahu-membahu untuk mereduksi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari industri. Membatasi industri dalam memproduksi berbagai barang kebutuhan mungkin bukan keputusan yang tepat, mengingat ada 7 miliar penduduk yang harus diupayakan kesejahteraannya.

Salah satu alternatif solusi yang bisa kita tempuh adalah memberdayakan "bioreaktor alami" untuk mengonversi emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan menjadi oksigen yang bermanfaat bagi kehidupan. Lantas apakah bioreaktor alami tersebut? Jawabannya adalah pohon di hutan dan alga di lautan.

Tuhan selalu menciptakan semuanya dalam harmoni. Semua reaksi pembakaran, termasuk pernafasan kita, selalu membutuhkan oksigen dan menghasilkan gas karbon dioksida. Sedangkan tumbuhan dan alga melakukan yang sebaliknya sehingga mereka adalah kunci keseimbangan alam.

Ironisnya, saat ini luas hutan semakin menurun secara drastis. Menurut jurnal Environmental Research Letter yang dipublikasikan tahun 2019, negara kita tergolong memiliki laju deforestasi terbesar di kawasan tropis sejak tahun 2001 hingga 2016. Beragam penyebabnya, mulai dari penanaman sawit hingga pembuatan kolam ikan.

Penyebab Deforestasi Hutan Indonesia, Sawit di Urutan Pertama (Environmental Research Letter)

Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu pangan dan pertanian, saya selalu ironi ketika mendengar pro-kontra tentang industri sawit. Di satu sisi, kita paham bahwa sawit adalah penyelamat ekonomi Indonesia. Ketika semua industri sedang loyo dihantam pandemi berkepanjangan yang tidak menentu, industri sawit justru masih berkontribusi positif terhadap ekonomi nasional. Maklum saja, kita selalu menjumpai produk berbasis sawit dan turunannya dari mata melek hingga merem.

Namun sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa sawit juga menjadi salah satu penyebab degradasi lingkungan. Ingat, salah satu lho ya!

Faktanya, deforestasi dunia sudah menyentuh angka 295 juta hektar, di mana 278 juta hektar disebabkan penanaman minyak nabati seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari (sunflower) yang hanya ditanam di subtropis seperti Eropa dan Amerika, sedangkan sawit yang ditanam di negara tropis seperti Indonesia hanya menyumbang 17 juta hektar.

Jika bicara degradasi lingkungan di negara kita, sawit mungkin menjadi penyebab utama alih fungsi hutan. Namun jika bicara cakupan global, rasanya sungguh tidak adil jika hanya industri sawit dan Indonesia saja yang disalahkan! Lantas Uni Eropa dan Amerika ke mana setelah enak-enakan menikmati cuannya?!

Tentunya diperlukan regulasi yang tegas dan bijaksana untuk menyelesaikan persoalan rumit ini. Lolos dari kajian komprehensif yang disebut analisis dampak lingkungan (Amdal) menjadi salah satu syarat bagi suatu perusahaan apapun yang ingin mendirikan pabrik.

Para pemangku kebijakan seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Perindustrian diharapkan selalu memantau dan tetap waspada terhadap praktik-praktik industri yang tidak ramah lingkungan, apalagi jika sudah menyangkut alih fungsi hutan.


Generasi Muda, Yuk Berkontribusi!

Halah, anak kemarin sore bisa apa?!

Mungkin itu yang terlintas di pikiran banyak orang mengingat krisis iklim adalah fenomena yang begitu kompleks, dalam skala nasional bahkan global. Generasi muda juga belum punya kewenangan dan posisi yang strategis. Kalau bahasa kerennya mah "siapa lo, sok-sokan aja!".

Ya memang benar! Begitulah keadaan kita sekarang.

Untuk merubah dunia saat ini juga, kita memang belum bisa. Namun bukan berarti kita hanya pasrah dan berpangku tangan saja menunggu sampai armageddon benar-benar datang. Tidak perlu bingung harus mulai dari mana. Sebagai generasi muda, setidaknya kita bisa mulai dari hal kecil bernama 3B alias belajar, bekerja, dan bawel.

Belajar. Kursi kepemimpinan di masa depan harus diisi oleh orang yang berilmu. Ke depannya, permasalahan akan semakin kompleks dan hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan yang kreatif melalui berbagai disiplin ilmu. Sebagai contohnya, satu permasalahan saja seperti krisis iklim mungkin baru bisa dicari solusinya melalui pendekatan ilmu sains, ekonomi, sosial, hingga politik.

Bergerak. Sebelum merubah orang lain, kita sebagai calon pemimpin haruslah memiliki self control yang baik. Pemiimpin yang berintegritas adalah mereka yang mampu menjaga kesesuaian antara ucapan dan perilakunya. Contohnya kita bisa mengurangi penggunaan kantong plastik dan beralih ke tas kain yang bisa dipakai berulang kali. Atau contoh lainnya, kita bisa mencabut charger jika tidak dipakai sehingga tidak membuang-buang listrik.

Bawel. Nah ini adalah senjata pamungkas para generasi muda. Dengan jumlahnya yang begitu masif mencapai setengah populasi dunia, pergerakan masif generasi muda bisa memicu revolusi besar-besaran. Dan tentunya, pergerakan itu dilandasi oleh keresahan yang terus memuncak dan arus komunikasi yang intensif. Apalagi dengan kehadiran media sosial yang memungkinkan informasi menyebar secara viral, para influencer generasi muda dengan pengikut yang banyak sangat mungkin untuk menggiring opini.

Ketika sudah memiliki posisi yang strategis, tentu ketiga hal tersebut harus di-scale up agar kebermanfaatannya dapat terasa lebih luas.

Penutup

Krisis iklim adalah nyata. Permasalahan ini sangat kompleks, menembus batas disiplin ilmu dan kebangsaan. Saat ini kita ada di persimpangan jalan di antara masa depan yang lestari atau masa depan yang kehancurannya tidak pernah kita bayangkan. Pilihannya ada di tangan kita. Masa depan adalah milik semuanya, generasi saat ini maupun generasi penerus. 

“The climate emergency is a race we are losing, but it is a race we can win”. - António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB.

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

2 Comments

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

  1. Iya, sebagai blogger harus rajin nih kampanye tentang sadar lingkungan di blog dan medsos ya sebelum lingkungan benar-benar rusak dan anak cucu kita kena getahnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju banget mbak, minimal itulah kontribusi kita sebagai blogger

      Delete
Previous Post Next Post