6 Tantangan Biodiversitas dan Keanekaragaman Pangan di Indonesia

{tocify}

Salah satu poin penting dalam pedoman gizi seimbang adalah mengonsumsi beraneka ragam makanan. Hal tersebut didasarkan pada fakta bahwa tidak ada makanan yang mengandung semua zat gizi sekaligus dalam jumlah yang cukup. Beras dan kedelai adalah contoh sempurna untuk memahami fenomena tersebut.

Meskipun mayoritas orang Indonesia merasa belum kenyang kalau belum makan nasi, tetapi nasi saja tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan zat gizi. Nasi memang sumber karbohidrat dan asam amino metionin yang cukup, tetapi bukan sumber asam amino lisin.

Karena lisin tergolong asam amino esensial yang penting bagi tubuh, kita harus mengonsumsi makanan lain yang tinggi kandungan lisin. Legum seperti kedelai dan produk olahannya (tempe, tahu, dkk) mengandung lisin dalam jumlah yang tinggi, namun sayangnya kekurangan asam amino metionin.

Kita juga bisa menyimpulkan bahwa budaya makan nasi dengan tempe, tahu dan produk kedelai lainnya adalah bukti nyata kejeniusan leluhur kita. Jauh sebelum adanya analisis laboratorium, mereka telah mengetahui bahwa kandungan zat gizi beras dan kedelai saling melengkapi satu sama lain.

Selain karbohidrat dan protein, tubuh kita juga membutuhkan lemak, vitamin, mineral, serat pangan dan berbagai komponen bioaktif yang hampir seluruhnya diperoleh dari beragam jenis makanan. Karbohidrat bisa diperoleh dari serealia dan umbi; protein dari legum, daging, dan ikan; lemak dari kacang, susu, telur; serta vitamin dan mineral dari sayur dan buah. Banyak sekali bukan?

Kalau direnungi, kita bisa menikmati semua jenis makanan yang enak-enak itu semata-mata karena Tuhan menciptakan keanekaragaman hayati dalam kondisi yang paling sempurna. Lebih spesifik lagi, Tuhan bahkan mencurahkan lebih banyak karunia-Nya untuk Bumi Pertiwi ketimbang negara lain.

Jika diukur luasnya, wilayah Indonesia "hanya" mencakup sekitar 1,3% dari total daratan di bumi. Indonesia bahkan tidak masuk ke dalam jajaran 10 negara terluas. Namun ternyata, Indonesia merupakan rumah dari 17% dari total spesies dan menempati posisi kedua sebagai negara dengan biodiversitas terbesar di dunia.

Keanekaragaman hayatai Indonesia (sumber: Thomson Education dan Yayasan Kehati)

Berikut adalah sekelumit contoh dari keberlimpahan biodiversitas di Indonesia:

  • 515 spesies hewan mamalia,
  • 1.400 ikan air tawar,
  • 1.531 spesies burung,
  • 511 spesies reptil,
  • 270 spesies amfibi,
  • 2827 spesies hewan avertebrata,
  • 121 spesies kupu-kupu,
  • 240 spesies tanaman langka, dan
  • 480 spesies karang keras.


Keanekaragaman hayati Indonesia (sumber: generasi biologi)

Hewan endemik Indonesia (sumber: CNN)

Tingginya keanekaragaman hayati tersebut secara otomatis memberikan keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Manfaat yang paling mudah dirasakan adalah berlimpahnya sumber pangan yang dapat dimanfaatkan.

Tidak percaya? Coba sebutkan semua sumber karbohidrat di Indonesia yang kamu ketahui!

Beras...

Jagung...

Sagu...

Singkong...

Ubi...

Kentang...

Talas...

Pisang...

Sorgum...

... Apa lagi ya?

Baru menyebutkan 9 contoh saja, kita sudah kehabisan ide, bukan? Padahal Indonesia itu punya...

... 77 jenis tanaman sumber karbohidrat! Banyak banget!

Mau contoh lainnya? Tidak usah deh ya, karena toh hasilnya akan serupa: kita sudah macet alias kehabisan ide duluan sebelum berhasil menyebutkan semua jenisnya.

Sampai saat ini, keanekaragaman pangan yang dijumpai di Indonesia setidaknya meliputi:

  • 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat,
  • 75 jenis sumber minyak dan lemak,
  • 26 jenis kacang-kacangan,
  • 389 jenis buah-buahan,
  • 228 jenis sayur-sayuran, dan
  • 110 jenis rempah dan bumbu

Keanekaragaman pangan Indonesia (sumber: Yayasan Kehati)

Sekilas kumpulan angka-angka itu memang terlihat menakjubkan, tetapi bukan itu esensinya. Justru angka-angka tersebut harus bisa menjawab pertanyaan paling fundamental:

Bagaimana menjawab tantangan berupa peluang dan ancaman terhadap biodiversitas dan keanekaragaman pangan di Indonesia?

3 Peluang Biodiversitas dan Keanekaragaman Pangan di Indonesia

Dengan keanekaragaman pangan sebanyak itu, mencapai 905+ jenis tanaman pangan, seharusnya Indonesia bisa mencapai ketiga hal berikut:

  • Mewujudkan kedaulatan pangan
  • Mengentaskan masalah kurang gizi
  • Menggenjot industrialisasi pangan lokal

#1 Mewujudkan kedaulatan pangan

Kedaulatan pangan adalah kemampuan suatu negara untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan nasional secara cukup dengan sepenuhnya mengandalkan produksi dalam negeri. Kedaulatan pangan berada di tingkatan yang lebih tinggi ketimbang ketahanan pangan, sebab kedaulatan pangan tidak bergantung pada impor.

Dengan berbekal 905+ jenis tanaman pangan lokal, riset dan pengembangan teknologi pengolahan pangan, dan sistem pengelolaan dengan baik, seharusnya Indonesia mampu memberi makan 270+ penduduknya secara cukup tanpa bergantung dengan komoditas pangan yang tidak tumbuh di Indonesia.

Bayangkan jika kita bisa memakan mi dan roti yang dibuat dari tepung serealia lokal. Atau tahu dan tempe yang diproduksi dari legum lokal. Negara kita mungkin bisa mengurangi impor gandum dan kedelai.

Oke, semua contoh itu mungkin terlalu muluk. Mari ambil contoh yang lebih masuk akal dan mungkin diwujudkan.

Bayangkan buah lokal bisa menduduki singgasana raja di negeri sendiri, seperti apel malang ketimbang apel washington, jeruk pontianak ketimbang jeruk sunkist, durian montong lokal ketimbang durian montong thailand maupun durian musang king.

Kalau pepaya california itu pengecualian. Walaupun ada embel-embel "California" yang merupakan kota di Amerika Serikat, sebenarnya pepaya tersebut murni varietas lokal hasil temuan salah satu dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Jadi, pepaya california bukanlah buah impor ya!

Termasuk juga pisang cavendish sunpride yang sering dikira buah impor, padahal pisang tersebut sebenarnya buah lokal yang lokasi perkebunannya ada di Lampung dan Sumatera Selatan. Pisang lokal tersebut sudah bisa menembus pasar mancanegara seperti Jepang dan Timur Tengah, lho!

Selain buah-buahan yang umum di dunia, Indonesia juga memiliki banyak buah eksotis asli lokal seperti:

  • Nangka,
  • Manggis,
  • Kelengkeng,
  • Rambutan,
  • Sukun,
  • Sawo,
  • Salak merah,
  • Buah buni,
  • Cempedak,
  • Ciplukan,
  • Gandaria,
  • Dan masih banyak lagi!
Ringkasan

{alertSuccess}

Keanekaragaman hayati Indonesia yang amat berlimpah berpotensi untuk mewujudkan Indonesia yang berkedaulatan pangan dan berdiri di atas kaki sendiri.

#2 Mengentaskan permasalahan gizi

Permasalahan gizi terdiri atas gizi buruk, kekurangan gizi, dan kelebihan gizi. Adapun yang berhubungan dengan topik ini adalah gizi buruk dan kekurangan gizi saja.

Sampai saat ini, permasalahan gizi di Indonesia masih sangat pelik. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas Kemenkes, 2018), sebanyak 17,7% balita di Indonesia mengalami masalah gizi berupa gizi buruk (3,9%) dan kekurangan gizi (13,8%). Selain itu, balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) bahkan mencapai 30,8%.

Gizi buruk dan kekurangan gizi dapat disebabkan karena kurangnya asupan protein maupun energi. Kekurangan protein saja disebut kwashiorkor, sedangkan kekurangan energi dan protein sekaligus disebut marasmus. Adapun gizi buruk tergolong marasmus berat, sedangkan kekurangan gizi adalah marasmus ringan.

Kwashiorkor dan marasmus lebih rentan terjadi pada usia dua tahun, tepatnya ketika periode menyusui berakhir. Rendahnya akses dan daya beli masyarakat, serta terjadinya kelangkaan pangan adalah duduk permasalahan yang sampai ini masih melanda berbagai daerah di Indonesia.

Rendahnya akses dan daya beli masyarakat dapat disebabkan karena pangan tersebut diproduksi di daerah yang jauh sehingga membutuhkan ongkos distribusi yang tidak sedikit. Minimnya infrastruktur pendukung juga bisa menghambat proses distribusi dan menimbulkan risiko food loss di sepanjang rantai pasok.

Sedangkan kelangkaan terjadi karena permintaan pasar melebihi pasokan, bisa disebabkan karena kekeringan, hama, gagal panen, bencana alam, maupun faktor lainnya.

Meskipun kwashiorkor dan marasmus memang sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, bukan berarti kita boleh berpangku tangan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menciptakan sistem untuk mendukung pola makan berbasis komoditas pangan lokal.

Apalagi Indonesia memiliki 905+ jenis tanaman pangan lokal yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membuat isi piring kita menjadi lebih berwarna-warni.

"Tunggu, memang apa pentingnya mewarnai isi piring?".

Sebenarnya itu hanya ungkapan saja kok, hehe. Secara visual, keberagaman jenis pangan memang akan memengaruhi warna isi piring kita. Semakin beragam, semakin berwarna-warni.

Menurut pedoman gizi seimbang, mengonsumsi beragam jenis makanan sangat penting, mengingat tidak ada satu jenis makanan pun yang mampu memberikan seluruh zat gizi secara cukup. Dengan mengonsumsi beragam jenis pangan, kita bisa mencapai status gizi yang optimal serta terhindar dari berbagai gangguan gizi.

Selain berpengaruh pada level individual, status gizi juga secara tidak langsung menentukan produktivitas dan daya saing bangsa. Seseorang yang tidak sehat tentu tidak bisa belajar, bekerja, dan berkarya secara maksimal, bukan?

Ringkasan

{alertSuccess}

Keanekaragaman hayati Indonesia yang amat berlimpah berpotensi untuk mengentaskan berbagai masalah gizi yang dapat menghambat produktivitas dan kemajuan bangsa.

#3 Menggenjot industrialisasi pangan lokal berkelanjutan

Ditinjau dari perspektif industrialis, kekayaan alam berupa 905+ tanaman pangan dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku industri. Proses pengolahan menjadi produk hilir (downstream) dapat memberikan nilai tambah (added value) sehingga melipatgandakan nilai ekonominya.

Contohnya saja kakao.

Per November 2021, harga biji kakao di pasar Eropa "hanya" sekitar Rp34.000 per kilogram. Jika diproses menjadi lemak kakao (cocoa butter), harganya melonjak menjadi Rp.70.000 per kilogram, atau hampir dua kali lipatnya.

Bahkan jika diolah menjadi konfeksioneri coklat batangan dengan merk sendiri, harganya bisa mencapai Rp.260.000 per kilogramnya!

Di sini lah mirisnya. Kita menghasilkan kakao yang sangat berlimpah, mencapai 659,7 ribu ton pada 2020 dan peringkat ketiga skala global. Namun ada berapa merk coklat asal Indonesia yang dikenal di mancanegara?

Well, Indonesia punya kok merk coklat yang cukup terkenal di Asia Tenggara. Semua orang Indonesia pasti familiar dengan merk coklat tersebut. Namun sayangnya, perusahaan tersebut malah melantai di Bursa Efek Singapura, meskipun lahir, tumbuh, dan berkembang di Indonesia.

Padahal, jika mau melantai di Bursa Efek Indonesia, perusahaan tersebut akan berkontribusi menggerakkan roda perekonomian secara makro. Well, saat ini kegiatan operasional mereka masih berjalan di Indonesia sehingga setidaknya masih berkontribusi menciptakan lapangan pekerjaan.

Terkait namanya, tak perlu lah disebutkan di sini. Googling saja sendiri, hehe.

Oleh karenanya, penting buat kita untuk mengapresiasi produsen pangan lokal yang berani membuat merk sendiri. Banyak yang saya temui, mereka memiliki kesadaran lebih akan praktik bisnis berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar.

Adapun yang perlu menjadi catatan adalah sekiranya para pengusaha lokal tetap memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan sebisa mungkin menjauhi praktik yang merugikan lingkungan dan warga sekitar industri.

Ringkasan

{alertSuccess}

Keanekaragaman hayati Indonesia yang amat berlimpah berpotensi menciptakan peluang industrialiasi pangan lokal yang mampu menggerakkan roda perekonomian.

3 Ancaman Biodiversitas dan Keanekaragaman Pangan di Indonesia

Meskipun berpotensi memajukan sektor pangan, keanekaragaman hayati Indonesia menghadapi tantangan yang semakin nyata dari hari ke hari.

Pertama, pemerintah Indonesia belum secara resmi memiliki Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI).

Indeks biodiversitas merupakan pangkalan data (database) yang memuat seluruh spesies, aset biodiversitas, dan status populasi yang ada di suatu wilayah.

Sebuah urgensi bagi Indonesia untuk memiliki IBI yang memungkinkan pemerintah mengukur dan memantau status biodiversitas di Indonesia. IBI juga dapat dijadikan pertimbangan saat membuat kebijakan yang menyangkut lingkungan hidup.

Bagaimana mau memantau dan mengendalikan, kalau baseline datanya saja tidak ada?

We can't manage what we don't measure. - Peter Drucker

Kabar baiknya, UGM dan WWF sudah menginisiasi penyusunan IBI yang mengandung data setidaknya 3.000 spesies dari wilayah Indonesia. Semoga saja proyek tersebut terus berjalan dan mendapatkan dukungan dari pemangku kebijakan terkait.

Kedua, keanekaragaman hayati terus mengalami degradasi ekstrem.

Tidak hanya di Indonesia, saat ini seluruh dunia sedang mengalami degradasi biodiversitas pada level yang mengkhawatirkan. Menurut data IUCN Red List tahun 2020, setidaknya terdapat 15.403 spesies yang terancam punah. Angka tersebut meningkat dua kali lipat daripada tahun 2007.

Jumlah spesies global yang terancam punah (sumber: Statista)

Adapun lima pemicu utamanya antara lain:

  • Kebijakan dan pola pembangunan tidak berwawasan lingkungan.
  • Gaya hidup konsumtif yang mendorong eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab.
  • Sedikitnya varietas yang dibudidayakan (khusus hewan dan tumbuhan yang umum dibudidayakan).
  • Aktivitas pertanian dan perikanan memerlukan input tinggi (pupuk, pestisida, pakan) sehingga menyebabkan erosi genetik/plasma nutfah.
  • Pudarnya kearifan lokal yang mengajarkan prinsip hidup selaras dengan alam.

Ketiga, perubahan iklim turut mengancam keanekaragaman hayati dan produktivitas tanaman pangan.

Perubahan iklim dan aktivitas pertanian memiliki hubungan dua arah.

Aktivitas pertanian dan produksi pangan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bertanggung jawab atas pemanasan global dan perubahan iklim...

... Dan di sisi lainnya, pemanasan global dan perubahan iklim berdampak pada hasil panen. Kenaikan suhu sebesar 1 derajat Celcius dapat menurunkan produktivitas tanaman padi sebesar 10%, sehingga semakin sedikit kuantitas pangan yang bisa diproduksi.

Di sektor perikanan, pemanasan global membuat tangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menurun sebesar 40%. Banyak jenis ikan yang berpindah ke perairan yang lebih sejuk, beradaptasi pada suhu perairan yang menghangat, atau bahkan punah.

Sudah Panjang Lebar Bicara Masalah, Sekarang Waktunya Solusi!

Setidaknya ada tiga hal yang bisa diterapkan untuk memaksimalkan peluang dan meminimalkan ancaman terhadap keanekaragaman pangan:

  • Menekankan kesadaran pentingnya pola makan berbasis lokal melalui pendidikan sejana dini,
  • Menjadi konsumen pangan lokal yang diproduksi di dalam negeri, dan
  • Menjadi agent of change yang terus mendorong perubahan di masyarakat.

#1 Menekankan kesadaran akan pentingnya pola makan berbasis lokal melalui pendidikan sejak dini

Generasi muda adalah pewaris bangsa ini. Selayaknya kakek, nenek, dan orang tua kita yang mewariskan bangsa ini kepada anak-anaknya, kelak kita pun akan mewarisinya untuk generasi mendatang.

Pergantian itu adalah keniscayaan, sehingga harus dipersiapkan sedini mungkin. Jika kita tidak mempersiapkannya dengan baik, jangan salahkan jika jajaran pemangku kebijakan di negara ini diisi oleh orang yang tidak tepat.

Salah satu upaya membentuk generasi sebagai iron stock adalah melalui pendidikan berilmu, berkarakter, dan berbudi pekerti luhur. Tidak hanya ilmu eksakta dan sosial, kita juga sebaiknya menyisipkan ilmu-ilmu "ringan" yang aplikatif dan penting, seperti mengenal keanekaragaman hayati di Indonesia serta urgensi menjaga aset tersebut.

Misalnya, anak SD bisa diperkenalkan dengan hewan, tanaman, dan jenis pangan eksotis asli Indonesia. Sisipkan juga berbagai cerita yang menarik perhatian mereka. Harapannya, mereka bisa memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab untuk melestarikannya.

#2 Menjadi konsumen pangan lokal yang diproduksi dalam negeri

Memasuki poin ini, saya jadi teringat betul suatu kisah ketika mengikuti kuliah Teknologi Flavor di IPB. Dosen saya waktu itu, Prof. Christofora Hanny Wijaya, mempunyai kebiasaan unik yaitu suka membawa makanan dan menghadiahkannya kepada mahasiswa yang berhasil menjawab pertanyaan beliau.

Beliau menunjukkan sebuah salindia yang dipenuhi gambar berbagai jenis mangga asli Indonesia, kemudian menanyakan pertanyaan yang sangat menohok.

"Coba sebutkan nama-nama mangga yang ada di gambar ini!"

Dan seperti yang bisa ditebak, jawaban kami hanya berputar-putar pada mangga arumanis, mangga indramayu, mangga apel, mangga manalagi, mangga gedong gincu, dan mangga kweni. Padahal di salindia itu masih banyak sekali gambar mangga lain yang tidak kami ketahui.

Beliau kemudian berpesan kepada kami agar mengetahui keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Jangan sampai karena kita tidak peduli, aset biodiversitas tersebut malah diaku-aku negara lain. Karena kalau sudah begitu, biasanya baru pada protes. Kemarin-kemarin kemana saja?

Nasehat bersahaja tersebut sangat menampar kami semua. Dan memang begitulah realita yang terjadi saat ini.

Misalnya saja durian montong. Semua orang pasti langsung menyangka durian tersebut berasal dari Thailand. Padahal cikal bakal bibit durian yang dikembangkan di sana didatangkan dari Indonesia, tepatnya dari Karanganyar.

Miris sekali bukan? Itu kan punya kita, tapi kok malah dinisbatkan kepada negara lain dan mereka yang menikmatinya hasilnya?

Kalau mau jujur pada diri sendiri, sebenarnya itu bukan salah mereka, melainkan kita! Kitanya yang dari dulu "anteng-anteng" saja. Giliran sudah kejadian, baru kebakaran jenggot.

Oleh karenanya, yuk kita konsumsi produk pangan lokal yang diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, kita membantu melestarikan keanekaragaman pangan lokal agar tetap eksis meskipun di tengah badai gempuran produk impor.

#3 Menjadi agent of change yang terus mendorong perubahan di masyarakat.

Poin terakhir yang bisa kita lakukan adalah dengan berperan aktif mendorong setiap kemungkinan perubahan, meskipun hanya sejengkal saja.

Yang berkarir di pemerintahan, misalnya dengan membuat kebijakan pro.

Yang berkarir di manufaktur, misalnya dengan memilih supplier bahan baku yang berkelanjutan.

Yang berprofesi sebagai pengajar, misalnya dengan mendidik generasi yang sadar lingungan hidup.

Yang berprofesi sebagai pebisnis, misalnya dengan menciptakan sistem bisnis yang ramah lingkungan.

Dan berbagai contoh aksi lainnya sesuai kemampuan dan kesempatan masing-masing.

Penutup...

Isu biodiversitas akan secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap keanekaragaman pangan, sedangkan keanekaragaman pangan berpengaruh terhadap isi piring makan kita. Membiarkan degradasi biodiversitas sama dengan mengancam diri kita sendiri.

Oleh karenanya, yuk bergerak bersama!

Referensi Artikel

{alertSuccess}

Katadata, 2019, 17,7% Balita Indonesia Masih Mengalami Masalah Gizi.

Malang Times, 2021, Ini 25 Buah Asli Indonesia yang Mulai Langka, Generasi Milenial Banyak Tidak Tahu.

Sariagri, 2021, Begini Langkah Awal Penyusunan Database Indeks Biodiversitas Indonesia.

Statista, 2021, Number of Threatened Species is Rising.

Universitas Gadjah Mada, 2020, Indonesia Belum Miliki Indeks Biodiversitas Nasional.

Yayasan Kehati, 2022, Mengenal Keanekaragaman Hayati Kita, pada Online Gathering #EcoBloggerSquad.

Sumber gambar ilustrasi dari Freepik Lisensi Gratis

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post