Menjaga Bumi Bisa Dimulai dari Piring Makan? Begini Caranya!

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemanasan global dan perubahan iklim mengakibatkan kerugian multidimensi yang sangat fantastis.

Saking mahalnya, kerugian tersebut mungkin saja tidak akan pernah sanggup terbayarkan meskipun tujuh miliar manusia ikut patungan.

Menyadari hal tersebut, sebanyak 195 negara yang menghadiri Paris Climate Change Agreement pada tahun 2015 silam sepakat untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C sampai 2030 dan mencapai net zero emission di tahun 2050.

Demi mencapai target ambisius tersebut, setiap negara dapat merumuskan Nationally Determined Contribution (NDC), suatu rencana strategis yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.

Sampai Oktober 2021, setidaknya sudah ada 140 negara, termasuk Indonesia, yang telah merumuskan dan menyampaikan NDC-nya.

Karena bersifat nasional, implementasi program NDC sangat bergantung kebijakan dan instrumen hukum nasional yang mana hanya bisa diakses oleh petinggi pemerintahan saja.

Sebagai warga negara biasa, peran kita adalah mengawal dan mendukung program-program tersebut.

Selain itu, kita juga dapat berkontribusi dengan hal-hal sederhana yang bisa dilakukan oleh siapa pun, terlepas bagaimana status dan perannya di masyarakat.

... Misalnya, dimulai dari piring makanan kita.

Mengapa Mulai Dari Piring Makanan?

Menurut data Jurnal Science yang terbit tahun 2018, sektor pertanian dan produksi makanan menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua, mencapai 26% dari total emisi.

Kabar buruknya, hubungan pertanian dengan pemanasan global bukanlah seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Aktivitas pertanian dan produksi pangan menghasilkan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Sebaliknya, pemanasan global menurunkan produktivitas tanaman pertanian dan meningkatkan harga pangan.

Lihat? Hubungan keduanya persis seperti "lingkaran setan".

Untuk memutus lingkaran setan tersebut, kita harus merubah cara kita memproduksi pangan.

Sedangkan cara produksi pangan sangat ditentukan oleh pola makan kita, seperti demand menciptakan peluang supply.

Analoginya, petani tentu tidak akan menanam padi jika tidak ada permintaan terhadap beras.

Kesimpulannya, salah satu cara memperbaiki sektor pertanian dan pangan adalah dengan memperbaiki cara kita memproduksinya, dan hal itu dapat dimulai dari piring makanan.

Terdengar kecil sih, tetapi tidak sekecil yang terdengar.

Selama manusia belum bisa berfotosintesis, makanan tetap menjadi kebutuhan paling utama bagi 7+ miliar manusia.

... Dan selama itu pula kita perlu berupaya memperbaiki cara kita makan.

Bagaimana Caranya?

Masuk ke pertanyaan utama:

Bagaimana mungkin pola dan kebiasaan makan bisa membantu menjaga bumi dan mengurangi pemanasan global?

Aku, kamu, dan kita semua setidaknya bisa mengupayakan dua hal sederhana berikut: {alertSuccess}

  • Mengurangi konsumsi daging merah dan produk olahannya
  • Tidak membuang makanan layak konsumsi

Yuk pelajari bersama!

#1 Mengurangi Konsumsi Daging Merah dan Olahannya

Daging merupakan sumber protein yang dapat diolah menjadi beragam kudapan lezat. Bahkan, salah satu makanan ternikmat seantero jagat raya pun terbuat dari daging (baca: rendang).

Oleh karenanya, sulit mempercayai bahwa ada segelintir orang yang tidak menyukai daging.

Kalau pun ada yang tidak suka daging dalam bentuk utuh, umumnya mereka masih menyukai produk olahannya seperti bakso, sosis, kornet, abon, dendeng, dan sebagainya.

Maka tak heran jika konsumsi daging pada skala global mengalami lonjakan sebesar 500% dari tahun 1992-2016.

Pada level individu, konsumsi rata-rata daging mencapai 34,1 kg per kapita per tahunnya. Angka yang begitu fantastis!

Namun, di balik kelezatannya, tahukah kamu bahwa daging khususnya daging merah (red meat) yang berlebihan sebenarnya berdampak buruk untuk bumi kita?

Lantas, apakah makan daging merah itu salah?

Well, bukan aktivitas makannya yang salah, melainkan proses produksinya.

Selama ini kita memproduksi daging merah dengan mengembangbiakkan hewan ternak seperti sapi, domba, dan babi.

Jika dibandingkan dengan sumber protein lainnya, hewan tersebut menghasilkan gas rumah kaca (dalam bentuk metana) yang relatif tinggi akibat sistem pencernaannya.

Menurut penelitian, konsumsi 100 gram daging per hari menghasilkan emisi sebesar 7,19 kg CO2 ekuivalen, hampir dua kali lipat dari vegetarian yaitu 3,81 kg CO2 ekuivalen. Emisi terkecil dijumpai pada pola makan vegan, yaitu 2,89 kg CO2 ekuivalen.

Estimasi emisi karbon dari berbagai pola makan (sumber infografis: asymmetricalife.com)

Selain tinggi jejak karbon, produksi daging merah juga sangat membebani lingkungan.

Jika dibandingkan dengan 1 kg protein nabati, produksi 1 kg daging sapi dengan cara peternakan memerlukan:

  • 18 kali lebih banyak lahan,
  • 10 kali lebih banyak air,
  • 9 kali lebih banyak bahan bakar,
  • 12 kali lebih banyak pupuk, dan
  • 10 kali lebih banyak pestisida

Oleh karenanya, mari sebisa mungkin kurangi konsumsi daging merah dan produk olahannya.

Kurangi ya, bukan tidak sama sekali. Hampir mustahil untuk tidak mengonsumsi sama sekali.

Kita bisa mengurangi konsumsi daging merah yang momennya tidak terkait dengan acara keagamaan maupun keperluan kesehatan.

Kurangi konsumsi yang memang memungkinkan untuk dikurangi, sesuai dengan batas kemampuan.

Misal, seseorang biasa makan daging merah dua kali dalam seminggu untuk tujuan self-reward. Nah bisa tuh dikurangi jadi satu kali seminggu dengan porsi yang sama.

Agar gizi tetap seimbang, jangan lupa konsumsi sumber protein lain yang lebih ramah lingkungan ya!

Salah satu sumber protein yang bisa dijadikan alternatif adalah legum dan produk olahannya seperti:

  • Kacang kedelai (termasuk tempe)
  • Kacang tanah,
  • Kacang polong,
  • Kacang hijau,
  • Kacang merah.

Selain beban lingkungan yang relatif rendah, legum mengandung protein dalam jumlah yang tinggi pada harga yang lebih terjangkau. Oleh karenanya, legum adalah sumber protein nabati terbaik.

Daging ayam, telur, dan ikan juga bisa dijadikan sebagai alternatif daging merah.

Ketiga jenis makanan tersebut sebenarnya menghasilkan emisi yang lebih tinggi dari pola makan nabati, namun masih lebih rendah ketimbang daging merah dari peternakan.

Dan alternatif yang terakhir adalah...

... Daging merah hasil kultur jaringan di lab.

Iya, kamu nggak salah baca!

Saat ini, ada perusahaan yang berupaya memproduksi daging merah dengan cara kultur jaringan di laboratorium yang diklaim lebih ramah lingkungan ketimbang peternakan konvensional.

Jika berhasil, kita bisa makan daging merah tanpa risau terkait dampak lingkungan.

Tinggal mempertimbangkan status kehalalan (bagi muslim) dan dampak kesehatan, mengingat daging merah tinggi akan lemak jenuh dan kolesterol yang notabenenya harus dibatasi.

#2 Tidak Membuang Makanan Layak Konsumsi

Seberapa sering kita jumpai pengunjung rumah makan yang meninggalkan sisa makanan di piringnya?

Saya pribadi rasanya cukup sering menemukan hal tersebut.

Jika di tempat umum saja begitu, hampir bisa dipastikan orang tersebut juga melakukan hal yang serupa di rumahnya.

Membuang makanan yang masih layak konsumsi bukanlah hal yang etis.

Bagi umat beragama, makanan adalah anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri.

Sebelum makan, seorang muslim biasa berdoa yang artinya:

Ya Allah, berkahilah kami pada apa yang telah Engkau karuniakan dan lindungilah kami dari siksa neraka.

Doa tersebut menggunakan kata "kami", sehingga secara tidak langsung ikut mendoakan seluruh pihak yang terlibat dalam sektor pertanian dari hulu ke hilir.

Sebegitu sakralnya umat beragama dalam memandang makanan!

Tidak hanya umat beragama, makanan juga sangat berarti bagi orang-orang yang terlibat dalam proses produksinya.

Bagi praktisi teknologi pangan, produksi makanan membutuhkan riset mendalam selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya.

Bagi insinyur dan praktisi agribisnis, produksi makanan membutuhkan sumber daya dan sumber energi yang tidak sedikit.

Dan bagi praktisi lingkungan, produksi makanan menghasilkan dampak lingkungan yang tinggi, dan akan semakin tinggi jika makanannya dibuang begitu saja.

Berdasarkan studi, emisi yang dihasilkan dari makanan yang tidak pernah dimakan bertanggung jawab atas 6% total emisi global, dan setara dengan 24% emisi akibat produksi pangan.

Emisi dari produksi makanan, food loss, dan food waste (Sumber: Our World in Data)

Padahal, jika makanan tersebut dikonsumsi, emisinya tidak akan setinggi itu.

Jadi, tidak ada alasan untuk membuang makanan layak konsumsi.

Penutup...

Kedua hal sederhana tersebut — mengurangi konsumsi daging merah dan produk olahannya, serta tidak membuang makanan layak konsumsi — menunjukkan bahwa piring makan kita juga bisa berkontribusi terhadap lingkungan.

Keduanya juga merupakan implementasi poin ke-12 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs 2030), yaitu konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

Jika aku, kamu, dan kita semua bersatu, perubahan akan segera datang, perlahan namun pasti.

Sebagai bentuk kepedulian untuk bumi dan masa depan yang berkelanjutan, kamu juga bisa ikutan berbagai green lifestyle challenge lainnya di website Team Up for Impact.

{alertSuccess}

... Karena memulai dari yang sederhana dan bersama-sama adalah langkah awal untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

Tunggu apa lagi? Yuk ikutan challenge serunya bareng Team Up for Impact dan #EcoBloggerSquad!

Tampilan website Team Up for Impact (sumber: dokumentasi pribadi)

Referensi Artikel

Gonzales N et al, 2020, Meat consumption: Which are the current global risks? A review of recent (2010–2020) evidences, Food Res Int. 2020 Nov; 137: 109341.

Ritchie H, 2020, Food waste is responsible for 6% of global greenhouse gas emissions, Our World in Data.

Scarborough P, 2014, Dietary greenhouse gas emissions of meat-eaters, fish-eaters, vegetarians and vegans in the UK, Clim Change. 2014; 125(2): 179–192.

Sumber gambar ilustrasi dari Freepik.

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

1 Comments

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

  1. udah ikut dong challange nya kak. memang dari segi makanan yang kita makan banyak banget ternyata dampaknya bagi kelestarian lingkungan kita ya

    ReplyDelete
Previous Post Next Post