Tetap Merajut Impianku Belajar di Negeri Orang, Walau Sempat Gagal Dijegal Pandemi


Kakiku melangkah perlahan menuruni satu per satu anak tangga bis pariwisata, tepat sesaat kami tiba di suatu balai peternakan di Malang. Siang hari yang cukup menyengat itu tak terasa menandakan rangkaian field trip yang tinggal tersisa beberapa hari saja. Satu minggu perjalanan mengelilingi berbagai industri pangan di pulau Jawa sama sekali tak terasa melelahkan ataupun membosankan.

Dari belakang, tiba-tiba seorang temanku menyapa. “Selamat ya Suf”, ucapnya, dan diikuti beberapa teman lainnya.

Saya pun celingak-celinguk, belum paham maksudnya. Ternyata, saya dan tim lolos menjadi perwakilan Indonesia dalam kompetisi pengembangan produk pangan internasional yang akan diselenggarakan di Auckland, Selandia Baru. Kadang suka bingung sama diri sendiri, kok malah orang lain yang duluan tahu, hahaha.

Usut punya usut, rupanya kabar itu disebarkan pada grup angkatan oleh salah satu dosen melalui mahasiswa bimbingannya. Kebetulan saat itu saya terhanyut menikmati suasana perjalanan sehingga belum sempat mengecek pesan yang masuk.

Saking berbunganya, kedua kaki ini rasanya ingin melayang. Sebagai bentuk rasa syukur dan perayaan kecil-kecilan, kami berempat yang tergabung dalam tim bernama AETOS (bahasa Yunani, artinya burung garuda) menyempatkan berfoto ria di halaman suatu pabrik yang saat itu sedang kami kunjungi.

Anggota Tim AETOS (dokumen pribadi)


Menginjakkan kaki di negeri orang sudah menjadi impianku sejak pertama kali berstatus sebagai mahasiswa. Bukan untuk gaya-gayaan, tujuanku untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan mencari pengalaman hidup. Menurutku, pergi ke luar negeri selagi mahasiswa akan jauh lebih berkesan, sebab biasanya dilakukan dalam rangka menimba ilmu seperti pertukaran pelajar, perlombaan, konferensi, dan kegiatan akademik lainnya.

Memang sih, pergi ke luar negeri pasti membutuhkan biaya yang terbilang mahal. Pada awalnya, saya pun mengira kalau belajar ke luar negeri hanya bisa dinikmati oleh mahasiswa dengan privilege ekonomi. Nyatanya, biaya masih bisa diupayakan dengan mencari beasiswa, sponsor, maupun donatur, asalkan mahasiswanya proaktif mencari peluang. Ketika sudah lulus, agenda ke luar negeri biasanya untuk liburan sehingga mau tidak mau harus rela merogoh kocek sendiri.

Sumber dana untuk ke luar negeri ala mahasiswa (sumber: buatan sendiri)


Ketika field trip berakhir, tim kami pun bergegas menyusun roadmap untuk menyelesaikan semua pekerjaan terkait kompetisi. Saya mendesain proposal dana dan kemasan produk, Via mengerjakan makalah, Stacia mengeksekusi R&D produk, sedangkan Gaby mengatur cashflow. Tim kami sudah seperti kumpulan puzzle yang saling melengkapi.

Pekan demi pekan berlalu. Pengembangan produk biskuit jagung yang kami beri nama "BISQUITOS" itu hampir rampung. Secara bersamaan, kami sudah mengantongi dana sponsor hampir 20 juta Rupiah, walaupun masih jauh dari total kebutuhan, namun saya sendiri hampir tidak percaya dengan banyaknya uang tersebut. Grand final hanya tinggal enam bulan saja, tepatnya pada bulan Agustus 2021.

BISQUITOS, biskuit jagung rasa cokelat yang kami kembangkan (dokumen pribadi)


Persiapan lomba terpaksa rehat sejenak, sebab pekan UTS telah tiba. Baru beberapa hari ujian berlangsung, Indonesia digemparkan dengan pengumuman Presiden Jokowi terkait kasus nasional pertama COVID-19 yang ditemukan di Depok, Jawa Barat.

Sebagai responnya, hampir semua kampus di Indonesia langsung memberlakukan kebijakan pembelajaran daring, termasuk juga kampusku. Sisa UTS yang belum terlaksana akhirnya diadakan secara daring, begitu pula kegiatan perkuliahan setelahnya.

UTS dibatalkan karena kasus perdana COVID-19 (dokumen pribadi)


Waduh-waduh, perasaanku kok jadi ngga enak ya? Dan ternyata…

Sebulan kemudian, sebuah pesan mendarat di akun surelku. Rupanya panitia lomba mengabarkan pengunduran waktu kongres sampai waktu yang belum ditentukan. Dua bulan kemudian, kongres akhirnya resmi dibatalkan secara penuh akibat penerapan kebijakan full lockdown di Selandia Baru.

Persiapan intensif selama sepuluh bulan berakhir penuh kekecewaan. Makalah, poster, dan video yang telah kami buat dengan seniat mungkin malah tidak jadi dilombakan. Sedih memang, tapi saya mencoba beranjak dan mencari peluang lain seperti pertukaran pelajar atau summer/winter course. Biasanya peluang tersebut selalu ada setiap tahunnya. Sayangnya, banyak yang tidak membuka pendaftaran karena pandemi.

Setelah lomba dan pertukaran pelajar tidak memungkinkan, upaya terakhir saya adalah konferensi. Saya bersyukur bisa lolos seleksi untuk mengikuti konferensi mahasiswa (HPAIR) yang diadakan oleh Harvard. Meskipun tahun ini virtual, saya tetap mendaftar dengan harapan mendapatkan international exposure.

Ternyata acaranya lumayan worth it karena bisa menambah wawasan dari 30+ pembicara kelas dunia mulai dari CEO perusahaan global, peraih Nobel, hingga petinggi negara. Selain itu, saya juga berkesempatan berkolaborasi dengan delegasi dari negara lain untuk menyelesaikan case study yang diberikan. Kebetulan tim saya beranggotakan delegasi dari China, Singapura, Filipina, dan Indonesia.

Walaupun pada akhirnya mimpi ke luar negeri belum sempat terwujud, yang penting tetap bersyukur.

Merajut Kembali Impianku Seusai Pandemi

Pandemi mungkin berhasil menggagalkan, namun tidak memadamkan impianku untuk belajar ke luar negeri. Kegagalan ini mungkin merupakan sinyal kebangkitan untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih berharga seperti melanjutkan pendidikan S2 di negeri orang.

Setiap orang pasti punya motivasi tersendiri untuknya. Kalau saya menyebutnya 3-ity yaitu quality, agility, dan opportunity

 

 1. Quality

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kampus ternama di luar negeri menyediakan fasilitas pembelajaran yang sangat mumpuni. Seorang temanku yang mencicipi satu semester di sebuah kampus di Finlandia menuturkan fasilitas laboratorium di sana begitu canggih dan mudah diakses.

Selain fasilitas, kualitas dosen juga menjadi hal yang masuk pertimbangan.

Saya pernah mendengar sebuah cerita dari mahasiswa ilkom Harvard yang pernah magang di Apple, Microsoft, dan McKinsey. Wajar saja, rupanya mereka diajari langsung oleh para dosen yang telah menerima hadiah Nobel!

Pentingnya belajar dari pakar (sumber: buatan sendiri, gambar latar dari Republika)


Sebenarnya di Indonesia pun banyak kampus yang berkualitas, salah satunya adalah UNPAR. Kampus yang didirikan sejak 1955 ini merupakan salah satu kampus swasta paling awal di Indonesia. Tidak mengherankan jika alumninya sudah tersebar di berbagai perusahaan swasta, BUMN, pemerintahan, hingga membangun usahanya sendiri.

2. Agility

Bayangkan kita dilepas di suatu persimpangan jalan asing. Di kanan dan kiri terdapat bangunan pencakar langit, saking tingginya membuat jalanan yang begitu lebar menjadi teduh. Kerumunan dengan warna kulit dan rambut yang berbeda berjalan tanpa saling memperdulikan satu sama lain. Mereka mengucapkan kata-kata dalam bahasa antah berantah yang terdengar lucu. Orang yang kita kenal kita terpisah dalam jarak ribuan kilometer.

Begitulah gambaran hidup di negara orang tanpa punya kenalan. Kita dituntut sigap dan mandiri dalam menghadapi berbagai situasi, namun bukan berarti tidak butuh siapapun. Memahami seseorang kini menjadi lebih sulit karena perbedaan latar belakang seperti kewarganegaraan, bahasa ibu, kebudayaan, ras, dan agama.

Dengan demikian, mau tidak mau kita harus belajar dan beradaptasi terhadap banyak hal yang sebelumnya terasa asing bagi kita.

Berbagai hal tersebut merupakan cikal bakal dari learning agility, yaitu kemampuan yang sangat krusial untuk tetap bertahan, bertumbuh, dan berkembang dalam menjalani kehidupan karir maupun personal.

3. Opportunity

Berkuliah di luar negeri akan menghantarkan lebih banyak kesempatan yang mungkin belum tentu didapatkan jika berkuliah di dalam negeri. Kesempatan yang paling fundamental adalah networking atau membangun koneksi baru dengan berbagai keunikan dan latar belakang.

Dalam membangun relasi, kuantitas dan kualitas menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Bukan tidak mungkin jika suatu saat kita bisa mendapatkan karir, peluang bisnis, rejeki, dan kerja sama melalui kenalan kita di masa lampau. 

Bahkan pasangan hidup juga pasti merupakan seseorang yang kita kenal kan? Siapa tahu bisa ketemu jodoh bule karena kuliah di luar negeri? (canda guys, luruskan niat hehehe).

Your network is your net worth (sumber: buatan sendiri)


Motivasinya sudah ada. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mewujudkannya? Sudah menjadi rahasia umum kalau uang kuliah S2 dan biaya hidup di Eropa terbilang sangat mahal.

Jawabannya jelas: saya akan berjuang mengejar beasiswa!

Saya pun mulai aktif meriset berbagai program beasiswa, mulai dari mengikuti akun beasiswa, seminar, hingga berdiskusi dengan teman yang terlebih dahulu sudah diterima. Harapannya, saya sudah mempunyai target beasiswa impian sebelum lulus S1. Dan pilihan utama saya jatuh kepada (drum roll)... Erasmus Mundus Joint Master Degree alias EMJMD!

Sumber: Erasmus

 

Alasanku menginginkan EMJMD adalah karena beasiswa ini menawarkan program studi rekayasa, teknologi, dan bisnis pangan berkelanjutan (FOOD4S) dan inovasi dan desain produk pangan (FIPDes). Keduanya sangat sesuai dengan minatku sebagai calon ahli teknologi pangan di masa depan. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai ujung tombak pembangunan.

Selain menawarkan program yang menarik, sebuah program EMJMD diampu oleh beberapa universitas sekaligus lho! Masing-masing universitas terletak di negara yang berbeda dan semuanya tergolong ke dalam jajaran universitas terbaik di Eropa.

Beasiswa Erasmus impianku (sumber: buatan sendiri)


Sebagai informasi tambahan, kedua program tersebut berlangsung selama dua tahun. Karena keempat kampus berada di negara yang berbeda, para mahasiswanya akan selalu berpindah kota dan negara setiap enam bulan sekali.

Yup, kamu ngga salah baca!

Kalau begitu, kita bisa belajar banyak hal sekaligus jalan-jalan keliling benua biru dong! Tapi yang ini cuma bonus yah, niat utamanya tetap menimba ilmu, hehehe.

Kuliah sekalian keliling Eropa (ilustrasi Freepik)


Walaupun sudah cukup jelas arahnya, sepertinya rencana tersebut masih sebatas harapan. Kondisi memang mulai membaik, namun dunia belum sepenuhnya merdeka dari pandemi. Apalagi di Eropa masih banyak terjadi kasus infeksi COVID-19 varian baru.

Setelah lulus dari kampus nanti, saya ingin membangun karir terlebih dahulu. Di sela-selanya, saya akan mencicil berbagai persyaratan beasiswa seperti tes bahasa Inggris hingga esai, sembari menanti momen di mana dunia kembali merdeka dari belenggu pandemi.

Yang pasti, rencana-Nya tidak pernah datang terlambat maupun terlalu cepat.

Referensi Tulisan

Karya ini (1493 kata) merupakan orisinal milik penulis yang diikutsertakan dalam #LombaBlogUnpar #BlogUnparHarapan. Infografis (termasuk foto thumbnail) dibuat sendiri dengan sumber daya grafis lisensi gratis yang diunduh dari Freepik dan Flaticon.

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post