Net Zero Emission 2050 dan Kesempatan Terakhir untuk Mencegah Distopia Apokaliptik

Rasanya begitu seram ketika membayangkan dampak dari degradasi ekologi. Konsekuensi terburuknya mungkin seperti pada film Interstellar, di mana umat manusia mengalami distopia apokaliptik tak berkesudahan. Petani merupakan profesi yang dilakoni hampir semua orang, karena pangan menjadi sangat langka.

Di tengah ambang kehancuran, manusia melakukan eksplorasi planet layak huni selain bumi dengan menembus kegelapan angkasa yang selalu malam. Kalau saja om Cooper gagal dalam misi antariksanya, hanya tersisa keputusasaan yang menanti umat manusia.

Meskipun cerita tersebut fiksi belaka, moralnya sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Semuanya bermula saat revolusi industri. Sebelumnya, atmosfer diperkirakan hanya mengandung 278 mg karbon dalam 1 kg udara (278 ppm). Sebuah penelitian yang dilakukan di observatorium Mauna Loa di Hawaii pada tahun 2021 menunjukkan angka 417 ppm, atau naik hampir 50%.

Jika diketahui massa atmosfer bumi sebesar 5,1 kuadriliun ton (angka 0 nya ada 15), maka aktivitas manusia selama 200+ tahun telah membebaskan sekitar 708.9 miliar ton karbon bebas yang sampai saat ini belum diserap kembali melalui fotosintesis.

Estimasi jumlah karbon bebas di atmosfer dari pre-revolusi industri sampai tahun 2021 (sumber: dokumentasi pribadi)

Lepasnya karbon ke atmosfer dalam jumlah massif dan jangka waktu yang panjang menyebabkan fenomena pemanasan global yang tentunya sudah kita kenal sejak SD. Adapun mekanisme pemanasan global adalah sebagai berikut:

Sinar matahari mengandung energi yang sangat besar, di mana salah satunya dalam bentuk energi panas. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia akan berkumpul di atmosfer, lalu menyerap sebagian besar energi dari sinar matahari. Padahal seharusnya sebagian besar energi tersebut dipantulkan kembali ke luar angkasa.

Akibar fenomena tersebut, saat ini suhu rata-rata bumi sudah meningkat sebesar 1°C dibandingkan masa sebelum revolusi industri, padahal batas amanya adalah 2.0°C. Sebagai bentuk kehati-hatian, limitnya diupayakan tetap di bawah 1.5°C.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama kita punya waktu sebelum bablas?

Sebuah laporan penelitian yang dikeluarkan oleh IPCC PBB pada tahun 2018 menyatakan bahwa umat manusia hanya memiliki 12 tahun tersisa sebelum kenaikan suhu melebihi 1.5°C. IPCC sendiri merupakan suatu lembaga di bawah PBB yang didukung oleh lebih dari 2.000 ilmuwan berkaliber di seluruh dunia. Karena laporan tersebut dirilis sejak 2018, artinya saat tulisan ini dibuat hanya tinggal 9 tahun lagi!

Saat ini umat manusia hanya punya dua pilihan:

  1. Tidak melakukan apa pun. Hasilnya, batas tersebut sangat mungkin akan terlewat dan krisis multidimensi hampir tak terelakkan sama sekali.
  2. Mencoba melakukan upaya mitigasi sedini mungkin. Walaupun tidak ada yang bisa menjamin, namun tentu masih ada peluang sukses.

Pilihan pertama akan menyebabkan kenaikan suhu bumi sebesar 1.9-3°C pada tahun 2050 dan 3.3-5.7°C pada akhir abad ini. Naik 2°C saja sudah menghasilkan dampak yang tak terbayangkan, apalagi kalau sampai 3°C bahkan 5°C!

Konsekuensi kenaikan suhu di atas 1,5 dan 2 derajat Celcius (sumber WWF)

Namun saya yakin para pemimpin dunia akan memilih opsi kedua. Sebagai buktinya, isu terkait perubahan iklim sudah diangkat oleh PBB dalam konferensi penandatanganan (Conference of Parties atau COP) yang rutin diadakan setiap tahunnya sejak 1995.

Adapun salah satu resolusi terpenting dari COP adalah Paris Agreement yang dihasilkan pada COP ke-21 di Paris tahun 2015. Kesepakatan ini berlaku secara internasional dan berlandaskan hukum. Sebanyak 194 negara dan Uni Eropa telah menandatangani Paris Agreement dan setuju untuk mencegah kenaikan suhu melebihi 2.0°C sekaligus mengupayakan agar tetap di bawah 1.5°C.

Proyeksi kenaikan suhu bumi berdasarkan level emisi karbon (sumber: Climate Action Tracker)

Untuk mewujudkannya, diperlukan pengurangan emisi karbon selama tiga dekade ke depan dimulai sejak tahun 2020. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada tahun 2050. Jika berhasil, kenaikan suhu bumi diperkirakan mencapai 1.6°C pada tahun 2050 kemudian turun di angka 1.4°C pada tahun 2100.

Net Zero Emission 2050: Utopia Masa Depan yang Masih Layak Diperjuangkan

Pada bagian sebelumnya, kita sudah memunculkan kata net zero emission. Namun, sebenarnya apa sih arti dari net zero emission itu?

Singkatnya, net zero emission yang dalam bahasa Indonesia disebut emisi nol bersih adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi di mana jumlah karbon yang diemisikan ke atmosfer setara atau seimbang dengan jumlah karbon yang berhasil diserap.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa satu-satunya cara untuk mencegah pemanasan global adalah dengan mengurangi jumlah emisi karbon bebas yang saat ini berada di atmosfer.

Pada kondisi alaminya, emisi karbon akan berkurang secara sendirinya karena diserap oleh tumbuhan, alga, maupun organisme lain yang melakukan fotosintesis. Yang menjadi masalahnya adalah aktivitas manusia yang berlangsung selama 24/7 selalu menambah emisi karbon terus menerus, hingga akhirnya mencapai level yang melebihi kapasitas penyerapan semua tumbuhan maupun alga yang ada di bumi.

Kondisi tersebut diperparah dengan maraknya deforestasi maupun kebakaran hutan yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Selain melepaskan emisi gas rumah kaca, kedua fenomena tersebut juga turut mengurangi luas hutan yang secara alami berfungsi sebagai penyerap karbon. Lengkap sudah, bagai jatuh tertiban tangga.

Tentunya tidak semudah membalik telapak tangan untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050 mendatang. Pasalnya, sekitar 73,2% emisi karbon global berasal dari sektor energi seperti transportasi serta kebutuhan listrik industri dan rumah tangga. Untuk transportasi, kita sudah sama-sama tahu kalau sampai saat ini bahan bakar fossil masih menyumbang porsi yang sangat besar (mencapai 84.3%) untuk transportasi darat, laut, maupun udara.

Sektor penyumbang emisi gas rumah kaca global (sumber: Our World in Data)

Berbeda dengan sektor energi keseluruhan, sektor energi listrik sudah lebih baik sebab hanya menggunakan energi fosil sebesar 63.3%, yang mana sebagian besar diperoleh dari batubara. Sisanya, yaitu 36.7% telah menggunakan sumber energi rendah karbon seperti tenaga air, nuklir, angin, matahari, panas bumi, biomassa, serta gelombang air laut. 

Sumber yang digunakan untuk menghasilkan energi secara umum dan energi listrik (sumber Our World in Data

Setelah kebutuhan energi yang paling menyumbang gas rumah kaca, sektor lain yang turut menyumbang gas rumah kaca adalah sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan (18,4%), disusul sektor industri (5.2%) serta sampah dan limbah (3.2%).

Berdasarkan fakta tersebut, sektor energi menjadi prioritas utama bagi dalam rangka mengurangi emisi karbon dan mencapai net zero emission dalam lingkup global. Jika bicara kondisi nasional di Indonesia, justru malah sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan yang paling besar menyumbang emisi karbon. Hal tersebut karena Indonesia telah menjadi subscriber loyal sebuah bencana yang bernama kebakaran hutan, gambut, dan lahan, serta aktivitas deforestasi. 

Saat ini sektor pertanian dan hutla menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia (sumber: Yayasan Madani Berkelanjutan

Meskipun saat ini sektor energi masih didominasi bahan bakar fossil, energi terbaharukan perlahan mulai digunakan di berbagai tempat. Misalnya, sudah mulai menjamur bangunan (terutama pabrik) yang melakukan instalasi panel surya di atapnya.

Tak hanya itu, mobil bertenaga baterai juga sudah mulai digemari walaupun harganya masih mahal. Bahkan muncul berita terkait penghentian penjualan kendaraan berbahan bakar fosil mulai tahun 2040 untuk motor dan tahun 2050 untuk mobil.

Jika solusi-solusi lainnya bisa turut diimplementasikan, mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 akan berubah dari fatamorgana menjadi sesuatu yang sangat mungkin untuk dicapai.

Bagaimana Sebenarnya Cara Kita Berkontribusi?

Jujur, pertanyaan ini sulit dijawab.

Kebanyakan aktivis penggiat lingkungan menyarankan perubahan gaya hidup menjadi green lifestyle pada level individual seperti menggunakan sepeda kayuh ketimbang kendaraan motor, memakan pangan nabati ketimbang hewani, menggunakan barang yang bisa dipakai berulang kali ketimbang yang sekali pakai.

Dan pada postingan blog sebelumnya, saya juga menyarankan begitu kok.

Ternyata menurut Michael E. Mann, salah seorang pakar iklim terkemuka di dunia, kampanye perubahan gaya hidup individual pertama kali dicetuskan oleh industri bertenaga bahan bakar fossil dan berbagai pihak lainnya sebagai pengalih perhatian untuk membebankan dampak perubahan iklim kepada level individual.

Professor Michael E. Mann

Beliau juga mengemukakan bahwa perubahan gaya hidup pada level individual bukanlah ujung tombak untuk menyelesaikan perubahan iklim yang sangat kompleks. Gaya hidup berkelanjutan memang sangat penting untuk menyelesaikan permasalahan iklim, namun tidak bisa dijadikan pengganti terhadap solusi-solusi yang berlandaskan kebijakan terstruktur.

Alasannya, gaya hidup pada level individual lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi, lingkungan, dan hambatan yang ada di sekitarnya. Manusia merupakan makhluk rasional yang memilih sesuatu yang paling mudah dan menguntungkan baginya, sekaligus juga bertindak sebagai aktor sosial yang mampu memilih keputusan terbaik di tengah sempitnya pilihan. 

Misalnya, bayangkan mereka yang tinggal di area perbukitan dengan banyak tanjakan dan turunan curam. Pasti akan sulit jika mengandalkan transportasi berupa becak atau sepeda kayuh. Kalau pas turunan sih enak, nah kalau pas tanjakan curam? Masa harus selalu menuntun setiap bertemu tanjakan?

Pada kasus perubahan iklim, solusi yang paling efektif adalah melakukan revolusi pada sistem sehingga setiap orang akan mereduksi jejak karbonnya masing-masing, baik ketika mereka peduli ataupun tidak. - Michael E. Mann

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana cara kita sebagai warga biasa untuk berkontribusi demi pengurangan emisi karbon dan tercapainya net zero emission? Jawabannya:

1. Mendukung pemimpin dan kebijakannya yang pro dengan keberlanjutan lingkungan hidup

"Kok malah jadi ke politik sih, bukannya kita lagi bahas net zero emission?"

Nah, ingat kembali sumber utama dan sektor prioritas yang harus dibenahi: sektor energi serta sektor pertanian, kehutanan, dan lahan. Memangnya bisa menyelesaikan peliknya kedua sektor tersebut tanpa melibatkan kebijakan dan hukum yang tegas? You know the answer.

Lantas, kebijakan seperti apa sih yang dapat dikatakan tepat?

Masih menurut Michael E. Mann, salah satunya adalah dengan memberikan harga terhadap emisi karbon (semacam pajak karbon). Upaya tersebut bisa menjadi insentif dalam implementasi sumber energi terbaharukan bagi pemerintah, swasta, maupun konsumen.

Dari sisi pemerintah, uang yang dikumpulkan melalui pajak karbon harus digunakan untuk investasi penyediaan energi terbaharukan dan sarana pendukungnya demi menggantikan bahan bakar fossil. Dari segi swasta, pajak karbon bisa "memaksa" untuk mengefisiensikan proses bisnis, termasuk unit operasi dan rantai pasok. Dari segi konsumen, kebijakan ini mampu menimbulkan pola konsumsi yang bertanggung jawab.

Yang perlu menjadi perhatian adalah kebijakan ini harus didesain sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kerugian ekonomi khususnya bagi masyarakat ekonomi lemah.

Semoga para pemuda dan iron stock yang kelak akan menjadi pemimpin Indonesia di masa depan memiliki kesadaran, visi, dan misi strategis untuk mempertahankan kebijakan yang sudah baik dan memperbaiki yang belum pas.

We need to change not just at the breakfast table, but at the ballot box as well. - Michael E. Mann

2. Menumbuhkan ekosistem industri dan pola konsumsi bertanggung jawab dengan menciptakan permintaan pasar (demand)

Industri dan pihak korporasi memang besar, namun konsumen jauh lebih besar. Suatu industri produk atau layanan tentu tidak akan pernah bertumbuh jika tidak ada permintaan pasar (demand) dari konsumen. Artinya, konsumen memegang peranan yang tak kalah vital dalam ekosistem industri.

Saat ini sebagian besar industri mungkin masih didominasi dengan pola produksi yang tidak ramah lingkungan. Mereka mendominasi pasar karena mampu menekan biaya produksi serendah mungkin. Sebaliknya, industri yang punya komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan mungkin banyak yang kalah bersaing, sebab praktik ramah lingkungan membutuhkan ongkos tambahan yang secara langsung berdampak terhadap harga produk atau layanannya.

Dengan membeli dan menggunakan produk dan layanan yang ramah lingkungan, kita membantu menciptakan permintaan pasar (demand) terhadap barang/layanan yang lebih ramah lingkungan, sehingga secara tidak langsung membantu industrinya untuk berkembang.

Misalnya, bagi kamu yang tergolong crazy rich, jangan ragu untuk membeli mobil listrik. Dengan begitu, permintaan akan mobil listrik akan terus tumbuh. Karena industrinya terus berkembang, akan semakin banyak perusahaan otomotif yang merambah pada industri tersebut (market entry). Ketika hal tersebut terjadi, harga mobil listrik akan turun sehingga bisa diakses oleh lebih banyak orang.

Kalau dianalogikan, hal tersebut mirip seperti industri smartphone android maupun internet. Dulu, smartphone dan internet hanya bisa dinikmati oleh anak sultan. Sekarang, rasanya kedua produk ini sudah sangat terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.

Namun yang perlu digaris bawahi, jangan sampai memaksakan diri sendiri. Kalau memang belum mampu, setidaknya pilihlah alternatif yang dampak lingkungannya paling kecil. Tapi sekali lagi, jangan sampai menyulitkan diri sendiri, apalagi sampai melakukan pengorbanan yang berlebihan.

Misalnya, kalau belum bisa membeli mobil listrik ya jangan memaksakan diri. Beli saja kendaraan bermotor biasa, namun cobalah sesekali gunakan kendaraan umum jika memungkinkan. Atau kalau memang tetap membawa kendaraan pribadi, jangan sendirian. Dengan demikian, jejak karbonnya relatif akan lebih sedikit.

3. Climb the ladder

If you don't like the rule, just follow it, reach the top, and change the rule. - Adolf Hitler

Solusi terakhir ini rasanya hanya berlaku bagi generasi muda. Bisa juga sih bagi generasi terdahulu, asalkan berprofesi sebagai pendidik generasi muda.

Sebagai iron stock, generasi muda saat ini pasti akan menjadi pemimpin di masa depan. So, jadilah versi terbaik dari diri kita. Jika saatnya tiba nanti, minimal kita sudah sadar akan pentingnya win-win solution yang tidak mengorbankan lingkungan maupun kesejahteraan.

... Karena keduanya bukanlah barang yang bisa dipertukarkan.

Penutup...

Untuk menyelesaikan krisis iklim, tentu kita semua perlu saling bekerja sama sesuai porsi dan kesanggupannya masing-masing. Perubahan gaya hidup individu memang penting, namun tidak bisa sepenuhnya menggantikan upaya yang lebih tersistematik.

Tahun ini, tepatnya dimulai pada 31 Oktober 2021, konferensi perubahan iklim PBB (COP ke-26) akan diadakan di Glasgow, Skotlandia. Telah dikonfirmasi bahwa Presiden Jokowi akan memaparkan langsung terkait strategi dan komitmen Indonesia mewujudkan nationally-determined contribution (NDC) dan net zero emission (NZE).

Mari kita tunggu resolusi apa-apa saja yang dihasilkan dari konferensi penandatanganan ini, dan semoga saja Indonesia terus menunjukkan iktikad baik untuk terus menerapkannya.

Referensi Tulisan

Artikel #EcoBloggerSquad ini dipersembahkan untuk menyambut 93 Tahun Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 2021 dan pembukaan COP ke-26 yang diadakan di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober 2021.

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post