Transisi Energi Ramah Lingkungan: Mengapa Begitu Urgen?

Masih kuingat betul ketika masih SD, mamah memintaku membeli satu liter minyak tanah di warung dekat rumah. Rupanya, mamah kehabisan minyak tanah untuk memasak.

Kutenteng jeriken berwarna kuning menyusuri gang yang cukup panjang, berbatu, serta ditumbuhi rumput liar. Di tanganku tergenggam beberapa lembar uang seribu Rupiah bergambar Kapitan Pattimura, Pulau Maitara, dan Pulau Tidore.

Saat itu, harga minyak tanah mulai melambung. Rupanya pemerintah menginisiasi transisi minyak tanah menjadi gas LPG sejak 2007.

Menurut Kata Data, program tersebut berhasil mengurangi penggunaan minyak tanah skala rumah tangga sebesar 73,6% terhitung sejak 2011 sampai 2021.

Transisi minyak tanah menjadi gas LPG adalah salah satu contoh transisi energi yang pernah terjadi di Indonesia. Terlepas dari berbagai polemiknya, kebijakan transisi energi ini terbilang sukses karena LPG merupakan sumber energi yang lebih efisien, efektif, dan bersih ketimbang minyak tanah.

Kini, lebih dari satu dekade telah berlalu sejak transisi minyak tanah menjadi LPG. Apakah kita masih memerlukan transisi energi lainnya? Apakah Indonesia, atau bahkan dunia, masih membutuhkannya?

Mengenal Transisi Energi Lebih Dalam

Transisi energi adalah proses peralihan dalam sektor energi demi menuju sumber energi yang lebih efektif, efisien, dan ramah lingkungan.

Adapun contoh transisi energi adalah proses peralihan bahan bakar fosil menjadi sumber energi nonfosil maupun bahan bakar sebagian fosil.

Bahan bakar fosil adalah senyawa organik mudah terbakar yang terbentuk dari hasil penguraian jasad makhluk hidup. Para ahli memperkirakan proses pembentukan bahan bakar fosil memakan waktu jutaan sampai ratusan juta tahun lamanya.

Sumber energi nonfosil adalah sumber energi yang sama sekali tidak berasal dari bahan bakar fosil.

Contoh sumber energi nonfosil adalah sinar matahari, tenaga air, tenaga angin, panas bumi, dan bahan bakar nabati (biomassa). Sumber energi nonfosil adalah sumber energi yang paling ramah lingkungan karena menghasilkan emisi karbon yang jumlahnya paling rendah. 

Sedangkan bahan bakar sebagian fosil adalah campuran dari bahan bakar fosil dan bahan bakar nonfosil. Contoh bahan bakar sebagian fosil adalah bahan bakar diesel yang saat ini beredar di Indonesia.

Bahan bakar diesel tersebut tersusun atas 70% bahan bakar fosil (dalam bentuk solar) dan 30% bahan bakar nonfosil (dalam bentuk biofuel berupa biodiesel). Bahan bakar tersebut dinamakan B30, di mana angka 30 mewakili proporsi bahan bakar nabati.

Bahan bakar sebagian fosil lebih ramah lingkungan ketimbang bahan bakar fosil, namun tidak lebih ramah lingkungan daripada bahan bakar nonfosil.

Mengapa Transisi Energi Begitu Urgen?

Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadikan transisi energi begitu penting dilakukan:

  • Faktor ekonomi, yaitu menekan biaya.
  • Faktor kesehatan penggunanya.
  • Faktor keberlanjutan, yaitu memastikan sumber energi lebih ramah lingkungan dan bisa terus dinikmati oleh generasi mendatang.

Mari kita bahas satu per satu.

#1 Urgensi dari Faktor Ekonomi

Energi adalah kebutuhan semua orang tanpa terkecuali. Oleh karenanya, energi haruslah semurah mungkin agar dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Dengan melakukan transisi menuju sumber energi yang lebih terjangkau, semakin banyak orang yang bisa menikmati manfaatnya. Taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat.

Ternyata, sumber energi ramah lingkungan memiliki harga yang lebih murah ketimbang bahan bakar fosil lho! Itu artinya, sumber energi ramah lingkungan seharusnya bisa lebih terjangkau.

Sebagai contoh, biaya untuk menghasilkan energi (dihitung sebagai levelized cost of generating energy, LCOE) dari tenaga angin daratan dan tenaga air ternyata lebih murah ketimbang batubara lho!

Menurut data dari International Energy Agency (IEA) tahun 2020, biaya rata-rata untuk menghasilkan energi dari tenaga angin daratan dan tenaga air aliran sungai berturut-turut sebesar 50 dan 68 USD per MWh, sedangkan batubara mencapai 88 USD per MWh.

Biaya untuk menghasilkan energi listrik dalam satuan USD/MWh (sumber: International Energy Agency, IEA)

Meskipun energi terbaharukan dari angin dan air sudah lebih murah dari batubara, energi terbarukan lain seperti energi surya, tenaga panas bumi, dan biomassa masih relatif lebih mahal.

Namun, bukan tidak mungkin perkembangan teknologi membuat ketiganya lebih murah ketimbang batubara, apalagi jika pajak karbon jadi diterapkan.

#2 Urgensi dari Faktor Kesehatan

Pembakaran sumber energi tak terbaharukan seperti minyak bumi dan batubara menghasilkan bahan partikulat yang berbahaya untuk kesehatan.

Bahan partikulat, atau sering disebut particulate matter (PM), merupakan campuran antara padatan dan cairan yang tersebar di udara bebas.

Berbeda dengan asap, debu, kabut yang bisa diamati dengan mudah, particulate matter tidak bisa terlihat oleh mata telanjang. Particulate matter baru bisa teramati dengan bantuan mikroskop elektron.

Particulate matter dapat dikategorikan menjadi dua jenis:

  • PM10, yaitu memiliki diameter ≤ 10 mikron (mikrometer).
  • PM2.5, yaitu memiliki diameter ≤ 2.5 mikron (mikrometer).

Sangat kecil bukan? Sebagai gambaran, sehelai rambut manusia memiliki diameter 70 mikron. Artinya, diameter particulate matter bisa 7-28 kali lebih kecil daripada diameter sehelai rambut kita! Dengan demikian, tak aneh bahwa particulate matter bisa dengan mudahnya terhirup dan masuk ke paru-paru.

Perbandingan ukuran pasir pantai halus, sehelai rambut manusia, PM2,5 dan PM10 (sumber: Environmental Protection Agency, EPA)

Particulate matter berbahaya karena dapat mengendap di paru-paru dan terbawa ke aliran darah. Jurnal Ilmiah Nature menyatakan PM2.5 memiliki risiko kesehatan yang lebih besar dan bertanggung jawab atas 4.1 juta kematian, atau 7.3% total kematian global.

#3 Urgensi dari Faktor Keberlanjutan

Aspek keberlanjutan dapat dibagi menjadi dua, dari segi ketersediaan cadangan dan segi lingkungan.

Ditinjau dari segi ketersediaan cadangan, pasokan energi fosil seperti minyak bumi, batubara, dan gas alam akan semakin menipis. Hal tersebut disebabkan karena laju pembentukannya mencapai jutaan tahun, suatu durasi yang sangat lama untuk ditunggu oleh peradaban mana pun.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak bumi dan gas alam Indonesia diperkirakan akan habis berturut-turut pada tahun 2030 dan 2041. Sedangkan di level global, cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis dalam 300 tahun mendatang.

Sesuai hukum ekonomi, stok adalah salah satu faktor yang memengaruhi harga. Dalam jangka panjang, menipisnya cadangan energi fosil akan membuat harganya semakin naik.

Sedangkan jika ditinjau dari segi lingkungan, energi fosil menyumbang emisi gas rumah kaca yang besar. Menurut Our World in Data, sektor energi menyumbang 73,2% dari total emisi gas rumah kaca, disusul oleh sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan, sektor industri, dan limbah.

Emisi gas rumah kaca global berdasarkan sektor. Sektor energi menempati peringkat pertama (Sumber: Our World in Data)

Saat ini, 84,3% dari total konsumsi energi diproduksi dari sumber energi tak terbarukan yang terdiri atas 33,1% minyak bumi, 27% batubara, dan 24,3% gas alam.

Konsumsi energi global berdasarkan sumber. Penggunaan energi rendah karbon hanya 15,7% (sumber: Our World in Data)

Artinya, dapat kita hitung bahwa sekitar 61,7% emisi gas rumah kaca saat ini dihasilkan dari pembakaran sumber energi fosil. 

Menilik Perjalanan Transisi Energi di Indonesia

Sependek yang saya ketahui, Indonesia setidaknya sudah dua kali melakukan transisi energi yang skalanya cukup masif.

Transisi energi yang pertama adalah konversi energi dari minyak tanah menuju gas alam (dalam bentuk liquid petroleum gas, LPG).

Program yang diluncurkan sejak 2007 silam ini bermula dari kesulitan negara yang harus mengucurkan dana 50 triliun Rupiah per tahunnya hanya untuk mensubsidi minyak tanah.

Demi menyukseskan transisi energi tersebut, pemerintah menggratiskan paket kompor gas dan tabung gas senilai 15 triliun Rupiah, masih jauh lebih rendah ketimbang subsidi minyak tanah tahunan.

Hasilnya, program ini berhasil membuat 50 juta kepala keluarga beralih menggunakan LPG hanya dalam tiga tahun, sebuah periode yang sangat singkat! 

Menurut Kata Data, pemerintah menghemat 189 triliun Rupiah selama 10 tahun sejak program tersebut diluncurkan.

Transisi energi yang kedua adalah konversi bahan bakar fosil (dalam bentuk solar) menjadi bahan bakar separuh fosil berupa biosolar, yaitu solar yang dicampur biodiesel dengan perbandingan tertentu.

Produk biosolar yang saat ini beredar di pasaran Indonesia tersusun atas 70% solar murni dan 30% biodiesel murni. Oleh karenanya, produknya disebut B30, di mana angka 30 merujuk kepada proporsi biodiesel.

Indonesia pun menjadi negara pertama di dunia yang berhasil mencapai proporsi biodiesel murni 30% dalam biosolarnya! Di negara lain, proporsi biodiesel murni hanya mentok sampai 7% saja.

Kita tentu perlu bersyukur sebab Indonesia bisa menjadi penentu tren (trendsetter) penggunaan energi terbarukan baik di Asia maupun global.

Dari kedua kasus tersebut, kita bisa mengambil beberapa pelajaran berikut.

1. Transisi energi membutuhkan reformasi sistem secara besar-besaran sehingga perlu melibatkan semua pihak mulai dari pemerintah, industri, dan masyarakat.

Dalam kasus konversi minyak tanah ke LPG, pemerintah tak ragu mengucurkan dana 15 triliun Rupiah untuk menggratiskan kompor dan tabung gas. 

Pemerintah pun mengamati bahwa masyarakat mengeluarkan biaya sekitar Rp15.000 per pekan untuk membeli minyak tanah. Agar bisa diterima secara ekonomi, LPG yang dijual pun harus berada di rentang harga tersebut sehingga lahirlah LPG dengan kemasan tabung 3 kg.

Kedua fakta tersebut membuktikan komitmen kuat yang dimiliki pemerintah.

Selain dari pemerintah, dukungan dari para pelaku industri dan masyarakat pun tak kalah vital dalam kesuksesan transisi energi ini. Meskipun awalnya menolak, akhirnya kebijakan ini dapat diterima sebab LPG memang terbukti lebih irit, lebih panas, dan lebih bersih ketimbang minyak tanah.

Tanpa adanya dukungan menyeluruh dari pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat, program transisi energi apapun tidak akan berhasil.

2. Transisi energi harus berlandaskan kajian ilmiah

Pada kasus konversi minyak tanah ke LPG, pemerintah telah melakukan kajian ilmiah terlebih dahulu. Menurut kajian dari Kementerian ESDM, pembakaran LPG bernilai 11.254,61 kkal/kg, sedangkan minyak tanah hanya bernilai 10.478,95 kkal/kg.

Untuk menghasilkan energi panas yang sama, satu liter minyak tanah setara dengan 0.57 kg LPG. Oleh karenanya, pemakaian LPG dapat memberikan penghematan  Rp16.500-Rp29.250.

Sedangkan jika ditinjau dari aspek keberlanjutan, LPG juga lebih ramah lingkungan. Pembakaran 1 kg minyak tanah menghasilkan emisi karbon sebanyak 19,6 mg, sedangkan LPG hanya menghasilkan sekitar 17,2 mg saja.

Berbagai data tersebut menjadi justifikasi kuat bagi pemerintah untuk melakukan transisi energi dari minyak tanah ke LPG. Dari sana kita belajar bahwa transisi energi harus didasarkan oleh kajian ilmiah yang kuat. Jangan sampai program transisi energi justru tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

3. Transisi energi membutuhkan peta jalan (road map) yang jelas

Pada kasus transisi energi dari solar menjadi biosolar, proporsi biodiesel murni tidak langsung mencapai 30%, melainkan naik secara bertahap.

Untuk bisa sampai ke B30 seperti saat ini, Indonesia sudah melalui perjalanan panjang lho!

  • B2,5 pada tahun 2008
  • B7,5 pada tahun 2010
  • B10 pada tahun 2014
  • B15 pada tahun 2015
  • B20 pada tahun 2016
  • B30 pada tahun 2020

Peta jalan diperlukan agar program transisi energi lebih jelas dan dapat dipantau perkembangannya. Selain itu, peta jalan yang jelas juga bisa memberikan informasi dan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk bersiap.

4. Transisi energi harus memiliki sistem insentif yang memadai dan tepat sasaran

Pada kasus transisi energi dari minyak tanah menuju LPG, subsidi minyak tanah per tahunnya mencapai 50 trilliun Rupiah. Negara bisa menghemat 50 triliun Rupiah secara cuma-cuma jika pemerintah hanya menggunakan wewenangnya untuk "memaksa" konversi.

Namun, yang terjadi bukan demikian. Pemerintah justru memberikan insentif berupa kompor dan tabung gas gratis yang nilainya sebesar 15 triliun. Karena disediakan secara gratis, masyarakat akhirnya mau mencobanya.

Dari sini kita belajar bahwa sistem insentif sangat penting dalam kesuksesan suatu program, termasuk program transisi energi. Sistem insentif memang membutuhkan biaya, namun tidak masalah jika nilainya masih lebih rendah ketimbang biaya subsidi sebelumnya.

Penutup

Transisi energi adalah PR besar yang tidak hanya dipikul oleh bangsa kita, melainkan juga dunia internasional. Menipisnya sumber energi fosil serta tingginya emisi karbon yang dihasilkan semakin mempertegas urgensi akan transisi energi.

Dalam praktiknya, dibutuhkan partisipasi aktif dari pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Pemerintah berperan membuat kebijakan, pelaku industri berperan melakukan bisnisnya sesuai kebijakan, sedangkan masyarakat berperan mendukung dan mengawal kebijakan tersebut.

Meskipun bangsa kita masih memiliki banyak PR, namun Indonesia sudah menunjukkan prestasinya. Kita tercatat sukses dalam transisi minyak tanah ke LPG serta transisi dari solar ke biosolar, yang bahkan negara lain belum tentu bisa melakukannya. Kita perlu mengapresiasinya sebagai motivasi agar terus berproses dan tidak berpuas diri.

Ke depannya, kira-kira apa lagi ya transisi energi yang akan diusung negara kita? Apapun itu, semoga penuh manfaat ekonomi, kesehatan, dan keberlanjutan.

Dan yang terpenting, tugas kita sebagai masyarakat adalah mendukung dan mengawalnya jika program tersebut memang terbukti lebih banyak manfaatnya.

Sumber Gambar: Freepik lisensi gratis

#EcoBloggerSquad

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post