Pengembangan Biofuel Menuju Energi Nasional yang Berdikari dan Berkelanjutan


{tocify}

Energi merupakan fondasi dari eksistensi semesta dan semua makhluk hidup. Organisme produsen seperti tumbuhan dan alga berfotosintesis dengan memanfaatkan sekitar 1% dari total cahaya matahari, menghasilkan oksigen dan sumber pangan bagi makhluk hidup lain dalam suatu siklus raksasa bernama jaring-jaring makanan.

Berbeda dengan hewan dan tumbuhan, manusia tidak memanfaatkan energi semata-mata untuk keperluan metabolisme saja. Kita juga memanfaatkan energi untuk "naik level" (baca: menjalani hidup dengan lebih mudah dan nyaman).

Di zaman modern seperti ini, siapa yang betah menghabiskan setiap malam dalam hidupnya dengan bergelap-gelapan ria? Atau, siapa yang bisa bertahan melakukan perjalanan berpuluh-puluh kilometer tanpa membawa charger atau powerbank?

Penemuan berbagai teknologi dalam beberapa abad terakhir tentu sangat mempermudah hidup manusia, sekaligus meningkatkan kebutuhan akan energi. Sebenarnya tidak ada yang salah, karena hal tersebut menjadi bukti perkembangan umat manusia.  

Yang menjadi masalah adalah... dari mana sumber energi tersebut diperoleh?

Menurut data dari Our World in Data tahun 2020, sebanyak 84.3% dari total energi yang kita gunakan berasal dari energi fosil seperti minyak bumi, batubara, dan gas alam yang suatu saat nanti akan habis.

Selain itu, ketiganya juga menghasilkan emisi karbon dalam jumlah yang relatif tinggi sehingga semakin memperparah fenomena pemanasan global.

Degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan dalam beberapa dekade terakhir menuntut dunia untuk menurunkan emisi karbon dan mencapai net zero emission. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan beralih kepada sumber energi terbaharukan seperti biofuel.

Mengenal Biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN)

Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.25 Tahun 2013, biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) adalah bahan bakar yang berasal dari sumber nabati dan/atau dihasilkan dari sumber organik lainnya, yang digolongkan ke dalam bahan bakar lain.

Demi kepraktisan, selanjutnya saya akan menggunakan istilah biofuel ketimbang bahan bakar nabati yah! Namun, keduanya tetap sama saja kok, hehe. {alertInfo}

Secara umum, bahan bakar yang tergolong biofuel antara lain bioetanol, biobutanol, dan biodiesel. Jika dijabarkan lebih jauh, biofuel terdiri dari tiga generasi yaitu:

Generasi pertama, terdiri dari bioetanol dan biobutanol yang dihasilkan dari proses fermentasi pati seperti jagung, kentang, dan tebu; serta biodiesel yang berasal dari reaksi transesterifikasi tanaman penghasil minyak seperti sawit. Bahan baku yang digunakan adalah bahan baku yang sengaja digunakan untuk membuat biodiesel.

Generasi kedua, merupakan bioetanol, biobutanol, dan biodiesel yang sama seperti generaasi pertama. Yang membedakan adalah bahan bakunya berupa limbah, produk samping, atau sumber pati dan minyak alternatif. Contohnya, bioetanol dan biobutanol dibuat dari produk samping pengolahan gula (molases), atau biodiesel yang dibuat dari minyak goreng bekas (jelantah) atau minyak jarak.

Generasi ketiga, merupakan biodiesel, bioetanol, dan hidrogen yang diperoleh dari mikroalga, rumput laut, dan mikroba.

Klasifikasi biofuel berdasarkan generasinya (sumber: Yayasan Madani Berkelanjutan)

Diantara ketiganya, biodiesel merupakan jenis biofuel yang paling umum di Indonesia. Dalam praktiknya, biodiesel dicampurkan ke solar dengan perbandingan tertentu yang terus naik secara berkala. Produk solar tersebut diawali dengan huruf B dan diikuti angka yang mewakili persentase biodiesel yang dicampurkan.

Sebagai contoh, solar yang beredar di pasaran sejak tahun 2020 hanya mengandung 70% solar murni. Sedangkan sisanya sebanyak 30% disusun oleh biodiesel. Karena komposisi biodieselnya sebesar 30%, maka produk solar tersebut dinamakan B30.

Untuk bisa sampai ke B30 seperti saat ini, Indonesia sudah melalui perjalanan panjang lho!

  • B2,5 pada tahun 2008
  • B7,5 pada tahun 2010
  • B10 pada tahun 2014
  • B15 pada tahun 2015
  • B20 pada tahun 2016
  • B30 pada tahun 2020

Sampai tahun 2025 nanti, Indonesia masih tetap menggunakan B30. Setelahnya, bukan tidak mungkin Indonesia akan meningkatkan konsentrasi biodiesel menjadi B40. Pasalnya, dikabarkan pemerintah telah melakukan uji coba B40 dan B50. Kita tunggu saja kelanjutannya yah!

Penerapan kebijakan konsentrasi biodiesel di Indonesia dari tahun 2015-2025 (sumber: Traction Energy Asia)
Lantas mengapa pencampuran biodiesel dilakukan secara bertahap dan tidak langsung sebesar 50%, 70%, atau bahkan 100%? Jawabannya ada pada bagian selanjutnya, jadi pastikan untuk membaca sampai akhir yah!

Mengapa Biofuel Penting Bagi Indonesia?

Usut punya usut, pemerintah Indonesia sudah menginisiasi program biofuel sejak tahun 2006. Kebijakan tersebut nampaknya diluncurkan setelah status Indonesia yang berubah dari net eksportir menjadi net importir minyak bumi pada tahun 2002.

Perlu dicatat bahwa net importir bukan berarti tidak melakukan ekspor sama sekali yah!

Menurut data dari BPS tahun 2020, Indonesia masih mengekspor minyak mentah sebanyak 4.395 ton serta mengimpor sebanyak 10.510 ton. Jadi, status net importir adalah kondisi di mana jumlah impor lebih besar ketimbang ekspor.

Mungkin timbul pertanyaan:

Mengapa 4.395 ton minyak mentah ekspor tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri? Bukankah dengan demikian Indonesia hanya perlu mengimpor selisihnya saja sebesar 6.115 ton?

Jawabannya adalah karena minyak bumi Indonesia tergolong sweet crude oil, atau minyak mentah manis. Manis di sini bukan karena gula yah, hehehe.

Minyak mentah dikatakan "manis" apabila memiliki kadar sulfur di bawah 0,5%. Harga jualnya tentu lebih tinggi dibandingkan minyak mentah asam (sour crude oil) dengan kadar sulfur di atas 0,5%.

Ringkasnya, Indonesia mengekspor minyak mentah manis dengan harga jual tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri, kita lalu mengimpor minyak mentah asam dengan harga beli yang lebih murah.

FYI, jawaban tersebut bukan bersumber dari saya sendiri, melainkan dari seorang petinggi Pertamina ketika saya menghadiri kuliahnya pada tahun 2016 silam.

Okay, back to the laptop. Meskipun Indonesia tetap mampu melakukan ekspor minyak mentah hingga beribu ton, namun hal tersebut tidak menutup fakta bahwa produksi minyak mentah lokal tidak bisa menutupi seluruh permintaan pasar domestik.

Terbatasnya produksi minyak mentah lokal membuat pemerintah harus mencari cara agar tetap mampu memenuhi permintaan dalam negeri. Dari sinilah pemerintah menyadari betapa pentingnya menginisiasi program pengembangan dan pemanfaatan biofuel.

Dengan mengembangkan potensi biofuel, harapannya Indonesia mampu mewujudkan ketahanan energi, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri tanpa terjadinya kelangkaan.

Keuntungan lainnya, Indonesia juga bisa mencapai kemandirian energi, yaitu kondisi di mana negara kita hanya bergantung kepada komoditas lokal sehingga tidak begitu terpengaruh saat harga minyak mentah dunia sedang melambung tinggi.

Lebih lanjut, jika menelaah lebih dalam terkait dampak ekologisnya, biofuel terbukti lebih baik dalam emisi karbon dibandingkan bahan bakar minyak fosil, namun tidak pada emisi nitrogen.

Sebagai contoh, biodiesel B100 mampu memperbaiki emisi hidrokarbon yang tidak terbakar (unburned hydrocarbon) sebesar 20%, karbon monoksida (CO) sebesar 25%, dan particulate matter (PM) sebesar 43% ketimbang solar murni. Meskipun demikian, penggunaan B100 setiap 10% akan meningkatkan kenaikan 0,8% emisi nitrogen dioksida.

Jika diasumsikan tren perubahannya linear, maka angka unburned hydrocarbon, CO, dan PM pada B30 yang saat ini beredar akan bernilai sekitar 6%, 7,5%, dan 12,9% berturut-turut lebih baik daripada solar murni.

Emisi karbon yang lebih rendah pada biodiesel dan biofuel lainnya tentu menjadi kelebihan tersendiri jika menggunakan campuran solar-biodiesel dibandingkan solar murni.

Potensi penurunan emisi dari penggunaan biodiesel tahun 2018-2025. Semakin tinggi nilai B, semakin besar potensi penurunan emisi (sumber: Traction Energy Asia)

Sebagaimana kita tahu, kenaikan emisi karbon akibat deforestasi, kebakaran hutan, dan penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan akan membuat suhu global merangkak naik sehingga menimbulkan krisis iklim.

Ringkasnya, biofuel memiliki dua peranan sekaligus yaitu untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berdikari dalam sektor energi sekaligus merangkap sebagai nationally determined contribution (NDC) dalam rangka menurunkan emisi karbon. {alertSuccess}

Potensi dan Tantangan Pengembangan Biofuel di Indonesia

Semua proses manufaktur pasti melibatkan input berupa bahan baku (raw material) dan tenaga kerja. Berbagai input tersebut lalu diproses sedemikian rupa untuk mentransformasi bahan baku menjadi output berupa produk. Setelahnya, produk kemudian didistribusikan kepada konsumen melalui jalur distribusi (distribution channel).

Lalu, apa implikasinya?

Potensi dan tantangan dalam suatu industri, apapun komoditasnya, umumnya tidak jauh-jauh dari rantai pasok setiap elemen pada input dan output, teknologi proses, dan pemasaran. {alertSuccess}

Dari sana, mari kita tarik ke kasus spesifik berupa potensi dan tantangan yang diharapi industri biofuel di Indonesia yaitu:

  • Produksi Sawit yang Berkelanjutan
  • Potensi dan Tantangan Alternatif Bahan Baku
  • Tantangan Teknologi Produksi

Yuk kita bahas satu per satu!

1. Produksi Sawit yang Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan

Sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki kelimpahan sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel, khususnya komoditas yang diproduksi dalam skala besar seperti kelapa sawit.

Berdasarkan data tahun 2020, Indonesia menjadi negara pengekspor sawit terbesar di dunia dengan total ekspor mencapai 37,3 juta ton dan menguasai pangsa pasar global (market share) sebesar 55%.

Kelimpahan produksi minyak sawit (crude palm oil alias CPO) merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku serta keberlangsungan produksi biodiesel.

Meskipun bahan bakunya tersedia berlimpah, tentu kita juga perlu mempertimbangkan bagaimana cara kita dalam memproduksi bahan baku tersebut. {alertWarning}

Jika bahan baku berupa sawit ternyata diproduksi dengan cara deforestasi, pengeringan gambut, maupun praktik yang merugikan ekologis, biodiesel malah berpotensi menghasilkan total emisi karbon yang lebih besar dibandingkan bahan bakar fosil.

Diperlukan regulasi yang bisa menjamin bahwa sawit Indonesia dihasilkan melalui praktik berkelanjutan.

Sebenarnya pemerintah Indonesia telah mewajibkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) terhadap perkebunan kelapa sawit. Namun sayang, sampai saat ini kewajiban tersebut belum begitu efektif karena minimnya sistem insentif bagi yang patuh dan hukuman bagi yang melanggar.

Selain aspek budidaya, pengadaan sawit juga memiliki masalah lain dalam rantai pasoknya. Saat ini, rantai pasok sawit di berbagai daerah rata-rata tersusun atas 4-6 langka sehingga masih terbilang panjang, dengan rantai pertama berupa petani swadaya dan berakhir di pabrik kelapa sawit (PKS).

Rantai pasok tandan buah segar (TBS) sawit dari petani swadaya hingga pabrik kelapa sawit (PKS). Setiap daerah dapat memiliki perbedaan (sumber: Traction Energy Asia)

Panjangnya rantai pasok memperkecil keuntungan yang didapat petani swadaya. Padahal, petani swadaya merupakan aktor penting dalam rantai pasok sawit, mengingat perkebunan sawit mandiri menguasai 40% total lahan. 

Memasukkan petani swadaya ke dalam rantai pasok biodiesel akan menguntungkan dari aspek ekonomi maupun ekologi, sebab mampu memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat kecil, mencegah deforestasi, serta menurunkan emisi dari keseluruhan proses produksi kelapa sawit.

Manfaat ekologis dan ekonomis dari keikutsertaannya perkebunan mandiri dalam rantai pasok biodiesel (sumber: Traction Energy Asia) 

2. Pemanfaatan Minyak Jelantah Sebagai Bahan Baku Alternatif Sekaligus Upaya Penerapan Ekonomi Sirkular

Selain menggunakan CPO, ternyata minyak goreng bekas atau minyak jelantah juga bisa dimanfaatkan untuk pembuatan biodiesel. Karena bahan bakunya dari limbah, biofuel yang dihasilkan termasuk sebagai generasi kedua.

Melihat kebiasaan warga +62 yang suka mengonsumsi kudapan maupun cemilan yang digoreng, seharusnya Indonesia mampu menghasilkan limbah minyak jelantah dengan jumlah yang tidak sedikit.

Menurut data BPS tahun 2019, konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai 16,2 juta kiloliter. Adapun minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan adalah 18,5% dari total konsumsi, yaitu mencapai 3 juta kiloliter, yang mana 1,6 juta kiloliter diantaranya dikumpulkan dari rumah tangga di kota besar.

Data konsumsi minyak goreng serta jumlah minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan di Indonesia pada tahun 2019 (sumber: Traction Energy Asia) 

Sayangnya, dari 3 juta kiloliter minyak jelantah, kurang dari 19% atau 570 ribu kiloliter saja yang dimanfaatkan untuk pembuatan biodiesel. Sisanya sebanyak 81% digunakan sebagai minyak goreng daur ulang maupun komoditas ekspor.

Alokasi pemanfaatan minyak jelantah yang didominasi oleh produksi minyak goreng daur ulang dan komoditas ekspor (sumber: Traction Energy Asia)

Saat ini, rasio konversi minyak jelantah ke biodiesel bernilai 5:1. Artinya, 5 liter minyak jelantah bisa diolah menjadi 1 liter biodiesel. Dari 570 ribu kiloliter minyak jelantah yang tersedia untuk biodiesel, Indonesia mampu memproduksi 114 ribu kiloliter biodiesel.

Jumlah biodiesel sebanyak itu mampu menghemat 34,2 ribu kiloliter solar murni melalui kebijakan B30 yang berlaku saat ini. Eiitss, segitu baru memanfaatkan 19% dari total minyak jelantah lho ya. Ke depannya, angka tersebut masih bisa bertumbuh. {alertSuccess}

Jika ditinjau dari teknologi produksinya, biaya konversi dari minyak jelantah menjadi biodisel sebenarnya lima kali lebih mahal dibandingkan konversi CPO ke biodiesel. Namun hal ini tidak menjadikan biodisesl dari minyak jelantah memiliki harga yang lebih mahal, sebab harga bahan baku berupa minyak jelantah masih jauh lebih murah dibandingkan CPO.

Perbandingan biaya konversi dan harga indeks produksi biodiesel berbahan baku CPO vs. minyak jelanah (sumber: Traction Energy Asia)

Pemanfaatan minyak jelantah yang notabenenya sebuah limbah tentu sejalan dengan konsep ekonomi sirkular yang mengedepankan nilai-nilai kesejahteraan dan keberlanjutan.

Limbah yang dulunya banyak dibuang karena tidak bermanfaat kini bisa diolah menjadi produk baru yang memiliki nilai tambah (added value) yang tinggi. Dampak ekologis menurun, kesejahteraan tetap meningkat!

FYI, minyak jelantah bisa banget menghasilkan pundi-pundi pemasukan tambahan lho! Setelah terkumpul dalam jumlah tertentu (biasanya sekitar 20 liter), bisa kontak para penampung minyak jelantah di kotamu biar langsung dijemput yah!

Opsi ini tentu jauh lebih baik daripada menjadikan minyak jelantah sebagai minyak goreng daur ulang yang jelas-jelas memiliki risiko buruk terhadap kesehatan.

3. Tantangan Teknologi Produksi Biofuel

Bagian ini akan menjawab alasan di balik kecilnya rasio biodiesel terhadap solar. Sebagaimana kita tahu bahwa solar yang beredar saat ini berjenis B30 dengan kandungan biodieselnya hanya mentok di 30% saja, sedangkan sisanya masih berupa solar murni.

Usut punya usut, rekayasa titik beku menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan biodiesel.

Titik beku adalah suhu di mana suatu benda mengalami perubahan wujud dari cair menjadi padat. Semakin rendah titik beku, semakin sulit suatu cairan untuk mengalami pembekuan.

Misalnya, titik beku air adalah 0°C, sedangka alkohol berjenis etanol adalah -114°C. Katakanlah kita sedang berada di Dieng pada suhu terendahnya yaitu -11°C. Pada suhu tersebut, air akan berubah wujud menjadi es namun etanol masih tetap cair.

Lantas mengapa titik beku penting bagi biodiesel"

Sebenarnya bukan hanya biodiesel. Titik beku sangat krusial bagi semua komponen cair yang ada pada mesin kendaraan, termasuk oli, air radiator, maupun bahan bakar lainnya seperti bensin. Ringkasnya, pembekuan oli, air radiator, dan bahan bakar adalah musuh utama bagi mereka yang tinggal di daerah dingin karenea bisa mengakibatkan kendaraan mogok.

Meskipun Indonesia negara tropis yang bermandikan sinar matahari sepanjang tahun, namun ada beberapa daerah yang sangat dingin seperti Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah dan Pegunungan Jayawijaya di Papua.

Semakin tinggi persentase biodiesel terhadap solar, campuran akan semakin mudah membeku. Rekayasa teknologi berperan penting untuk "mengakali" hal tersebut, namun nampaknya tidak semudah membalik telapak tangan.

Selain terkendala titik beku, biaya produksi B30 masih terbilang lebih mahal dibandingkan biaya produksi solar murni. Demi menutupi selisihnya, pemerintah telah mengucurkan dana untuk menciptakan sistem insentif atau yang lebih dikenal sebagai subsidi.

Besaran insentif atas selisih harga indeks produksi biodiesel dan solar dari tahun 2015-2020

Jumlah dananya tentu tidak sedikit, yaitu mencapai 46 trilliun Rupiah pada tahun 2021. Semakin besar selisih harga antara B30 dan solar murni, semakin besar pula insentif yang harus dibayarkan untuk menutupi selisihnya.

Penutup

Indonesia sudah memiliki roadmap yang cukup jelas terkait penggunaan biofuel berjenis biodiesel. Berawal dari isu ketahanan dan kemandirian energi, pengembangan biofuel kini juga bertujuan mencapai nationally determined contribution (NDC) untuk mereduksi emisi karbon.

Peluangnya terbuka lebar, apalagi jika berbicara kelimpahan bahan baku berupa CPO maupun alternatif lainnya seperti minyak jelantah. Namun tantangannya juga banyak, mulai dari praktik perkebunan sawit yang harus dibuat berkelanjutan, permasalahan rantai pasok, hingga kendala teknologi.

Langkah berani Indonesia tentu perlu kita dukung dan apresiasi bersama-sama, mengingat saat ini negara kita mempelopori penggunaan energi berkelanjutan dengan memimpin produksi biodiesel terbesar di dunia, melebihi Amerika Serikat, Brasil, dan Jerman.

Mari bersama terus dukung kebijakan yang pro terhadap keberlanjutan lingkungan hidup di Indonesia.

Referensi Artikel dan Gambar

  • Materi seminar #EcoBloggerSquad bersama Yayasan Madani Berkelanjutan dan Traction Energy Asia.
  • Sumber daya grafis berlisensi gratis dari Freepik.

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post