Sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat, Lindungi Sang Pelindung Biodiversitas Nusantara

"Masyarakat adat? Ohhh yang suka konflik dan ribut-ribut itu ya?"

Kalimat tersebut mungkin saja terbesit di benak saat mendengar tentang masyarakat adat.

Berita mainstream yang memuat konflik terkait masyarakat adat seringkali menciptakan persepsi negatif tentang masyarakat adat.

Mereka kerapkali dikaitkan dengan konflik, anarkis, hingga pemberontakan.

Sebagaimana ungkapan Stephen Covey dalam buku legendarisnya "7 Habits"...

"The lens shapes how we interpret the world"...

Berita dan media mainstream secara tidak langsung telah menjadi "lensa" bagi kita untuk melihat masyarakat adat.

Apakah "lensa" tersebut benar-benar kinclong, atau justru dipenuhi dengan debu?

Dalam tulisan ini, kita akan mengupas tiga hal yang jarang diberitakan media:

  • Mengapa masyarakat adat kerap terlibat konflik dan persiteruan?
  • Bagaimana peran masyarakat adat dalam pembangunan berkelanjutan?
  • Bagaimana cara melindungi masyarakat adat?

Memahami Siapa Sebenarnya Masyarakat Adat

Banyak sekali yang salah memaknai siapa itu masyarakat adat.

Ada yang memahami masyarakat adat sebagai masyarakat yang hidup di daerah terpencil.

Ada juga yang mengiranya sebagai masyarakat yang tidak tersentuh pengaruh dunia luar dan teknologi.

Bahkan mungkin ada juga yang berpikiran masyarakat adat adalah suku dan atau kerajaan di daerah.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), definisi masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu secara turun-temurun, serta berdaulat atas wilayah, kekayaan alam, dan kehidupan sosial budayanya.

Lantas, apa sih bedanya masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya?

Ternyata, masyarakat adat memiliki ciri khasnya tersendiri lho! Ciri tersebut sangatlah unik sehingga membedakannya dengan masyarakat biasa.

Keempat ciri masyarakat adat antara lain:

  • Menempati wilayah tertentu secara turun-temurun.
  • Memiliki identitas budaya yang berbeda dari kelompok masyarakat lainnya, meliputi bahasa, spiritualitas, nilai, sikap, dan perilaku.
  • Mempunyai sistem nilai dan pengetahuan, seperti tata cara pertanian, perkebunan, pengobatan, pendidikan, permainan tradisional.
  • Menerapkan hukum adat dan sistem kelembagaan, termasuk aturan dan norma masyarakat adat yang mengatur aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Setelah mengetahui definisi dan ciri tersebut, sudah kebayang dong seperti apa masyarakat adat yang sebenarnya itu?

Jadi, masyarakat adat tidaklah sama dengan suku, karena orang dari suatu suku bisa saja tinggal di wilayah luar.

Masyarakat adat juga tidak bisa disamakan dengan kerajaan di masa lampau, karena kerajaan di masa lampau sejatinya mirip seperti pemerintah di zaman sekarang.

Masyarakat Adat Terlibat Konflik, Mengapa?

Masyarakat adat memang sering terlibat dalam konflik atau persiteruan.

Pertanyaan utamanya adalah... "mengapa bisa terjadi?"

Alasannya, karena mereka wilayah adat mereka kerap diusik oleh oknum yang hanya mementingkan keuntungan segelintir pihak dengan berkedok pembangunan.

Misalnya ini:

Atau ini:

Pembangunan itu bagus banget kok, tapi harus berlandaskan prinsip kebersamaan. Setelah selesai, harusnya dikembalikan lagi kepada masyarakat adat untuk dikelola bersama.

Yang sering terjadi pembangunan itu justru merampas wilayah adat secara sepihak. Masyarakat adat dipaksa hengkang dari tanah yang telah ditinggali nenek moyang dan diwariskan secara turun-temurun.

Analogi sederhananya begini:

Kamu tinggal di rumah milik sendiri. Terus ada orang lain yang menggedor-gedor pintu, mendobrak, lalu mengeluarkan semua barang-barangmu? Oh iya, tak lupa sambil menghunuskan jari telunjuk, sebuah isyarat untukmu agar kamu keluar.

Nggak mau ngalamin begitu kan?

Masyarakat Adat dan Pembangunan Berkelanjutan

Selama beratus-ratus tahun lamanya, masyarakat adat telah menjaga wilayah adat dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hutan, lahan gambut, dan biodiversitas.

Masyarakat adat amat bersahaja — mereka benar-benar menerapkan pola hidup ramah lingkungan (green lifestyle) serta memanfaatkan kekayaan alam secukupnya saja.

Mereka berprinsip bahwa alamlah yang akan mencukupi kebutuhan hari ini, esok, dan seterusnya.

Masyarakat adat tidak terpikir untuk memperkaya diri sendiri dan mengeruk sebanyak-banyaknya, karena prinsip hidup mereka adalah "yang penting cukup".

Hal tersebut tentu sangat kontras dengan oknum korporasi yang hanya berorientasi pada profit saja.

Masyarakat adat menganggap wilayah adat sebagai tempat yang sakral. Harus dijaga, tidak boleh dirusak. Wilayah adat adalah warisan dari para leluhur dan harus diwariskan untuk generasi mendatang.

... Oleh karenanya, tidak berlebihan menyebut masyarakat adat sebagai penjaga biodiversitas dan kekayaan alam. Tidak hanya di Indonesia, namun juga pada skala global.

PBB bahkan berani mengklaim bahwa masyarakat adat mengelola dan menjaga 20-25% wilayah daratan yang ternyata mengandung 80% kekayaan biodiversitas global.

Di balik amanah yang sangat berat tersebut, masyarakat adat sebenarnya "hanya" berjumlah 5% dari total populasi global lho!

Masyarakat Adat Kian Terancam, Bagaimana Melindunginya?

Kehidupan masyarakat adat sangat bergantung pada hasil alam. Artinya, semua hal yang mengancam alam juga turut mengancam masyarakat adat.

Deforestasi dan tingginya emisi karbon dapat memicu pemanasan global, di mana kenaikan suhu bumi melebihi 1,5°C dapat mengakibatkan berbagai malapetaka bagi masyarakat adat, seperti:

  • Terancamnya biodiversitas (memengaruhi kehidupan 6% serangga, 8% spesies tumbuhan, dan 4% hewan bertulang belakang). Hal ini berdampak pada masyarakat adat yang bermukim di wilayah hutan.
  • Pemutihan 70% terumbu karang. Hal ini berdampak pada masyarakat adat yang bermukim di wilayah pesisir.
  • Penurunan produktivitas dan gizi tanaman pangan sebesar 87,5%. Hal ini berdampak pada masyarakat adat yang bermukim di wilayah hutan serta hidup dari sektor pertanian.

Selain perubahan iklim, masyarakat adat juga rentan terhadap isu ekonomi dan politik.

Mereka kerap terlibat sengketa dengan oknum korporasi dan oknum pemerintahan yang ingin mengeksploitasi wilayah adat untuk proyek pembangunan infrastruktur, perkebunan, pertambangan, pembangkit listrik, atau pariwisata.

Konsekuensinya, masyarakat adat kerap digusur dari wilayah yang sudah ditempati beratus-ratus tahun. Mereka kehilangan mata pencaharian dan sumber air. Yang lebih buruk lagi, mereka sangat rentan menjadi korban kekerasan apabila melawan.

Oleh karena itu, menjadi suatu urgensi untuk menciptakan instrumen hukum yang mampu melindungi hak masyarakat adat, baik dalam skala internasional maupun nasional.

Dalam skala internasional, PBB sudah mengesahkan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, UNDRIP) pada Sidang Umum PBB tahun 2007.

Saat itu terdapat 144 negara mendukung, 4 negara menentang (Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat), serta 11 negara abstain. Saat ini, keempat negara yang menolak sudah berubah pandangan dan menyetujuinya.

UNDRIP disahkan setelah melalui perjuangan panjang selama 22 tahun. Secara umum, deklarasi ini berfungsi untuk:

  • Menetapkan dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
  • Mencegah diskriminasi terhadap masyarakat adat.
  • Mempromosikan keterlibatan masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut hajat hidup mereka.

Sedangkan di level nasional, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA).

RUU MHA pertama kali diusulkan sejak masa kepemimpinan Presiden SBY, tepatnya pada tahun 2013. Namun sampai sekarang, RUU ini hanya teronggok dan berdebu di kolong meja DPR.

Demo Pengesahan RUU MHA (sumber: Kata Indonesia)

Menurut Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja RUU MHA, RUU ini tidak pernah disahkan karena belum adanya kemauan politik yang kuat dari Presiden maupun DPR.  Padahal RUU ini sudah mengantongi dukungan sebanyak tujuh dari sembilan fraksi di DPR.

Lemahnya kemauan politik tersebut karena implementasi RUU MHA dikhawatirkan berbenturan dengan UU Cipta Kerja sehingga menghambat proyek investasi dan pembangunan.

Padahal, saat ini sudah menjadi prioritas untuk segera mengesahkan RUU MHA mengingat perampasan hak masyarakat adat semakin masif, apalagi disertai dengan degradasi lingkungan yang kian memprihatinkan.

RUU MHA akan menjaga marwah Indonesia sebagai negara dengan kebhinekaan yang mendarah daging, kebudayaan yang bermartabat, serta biodiversitas yang mengagumkan.

Oleh karenanya, yuk kita kawal dan dukung pengesahan RUU MHA!

Kuatnya dorongan publik akan mempercepat proses pengesahan RUU tersebut, apalagi jika sudah ramai diperbincangkan di media.

RUU ini adalah ujung tombak untuk menjaga sang penjaga alam...

... Karena sang penjaga juga butuh untuk dijaga. 

Referensi Tulisan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Madani Berkelanjutan

National Geographic

The Guardian

United Nations

VOA Indonesia

Gambar ilustrasi dari Freepik

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post