Karhutla Indonesia Jadi Langganan, Tamparan Keras agar Berbenah


The world’s lung – rasanya julukan tersebut tidak berlebihan jika disematkan kepada Indonesia. Terbentang gagah mencengkeram ekuator, Bumi Pertiwi benar-benar mewarisi rimbunan hutan yang eksotis dan menarik perhatian dunia.

FYI, gambar pembuka di atas merupakan cuplikan salah satu sekuel layar lebar Holywood epik, Anaconda, yang berlatar di pedalaman hutan belantara Kalimantan.

Hutan Indonesia yang tersebar di berbagai pulau, mulai dari Sumatera hingga Papua, tak diragukan lagi merupakan tempat puluhan juta orang mencari penghidupan. Mereka mengumpulkan hasil alam, mengais rezeki di sektor pengolahan hasil hutan, hingga melakukan ritual dan tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya. Sebagai negara dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, rasanya tak aneh jika ekspedisi hutan Indonesia rutin membuahkan penemuan spesies baru.

Sumber daya alam kerap menjadi ujung tombak bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mengakselerasi kondisi ekonomi. Ilmu ekonomi memperkenalkan istilah opportunity cost yang begitu dilematis. Kita harus menukarkan sesuatu demi mendapatkan hal lain. Sederhananya, hutan kita adalah harga mahal yang harus kita bayar untuk sesuatu yang kita sebut sebagai kesejahteraan.

Apakah 100% salah? Mungkin iya, tapi saya rasa tidak sepenuhnya.

Sebuah teori bernama environmental Kuznets curve mengemukakan bahwa degradasi lingkungan akan terjadi secara massif pada fase pra-industri dan industri (negara berkembang) namun akan kembali turun pada fase perekonomian pascaindustri (negara maju).

Satu hal yang perlu dicatat bahwa teknologi memainkan peranan penting dalam semua fase tersebut.

Environmental Kuznets Curve

Teori tersebut menuntun kita untuk memandang fenomena degradasi hutan dan lingkungan dari perspektif yang berbeda. Bukannya memaklumi segala bentuk kerusakan yang terjadi, namun untuk memantik semangat agar bisa melepaskan Indonesia dari embel-embel “negara berkembang”. Dengan menjadi negara dengan perekonomian yang tangguh, Indonesia seharusnya bisa semakin menurunkan laju kerusakan hutan dan lingkungan hingga ke level yang rendah.

Nah yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah… kapan kira-kira Indonesia jadi negara maju? Dari saya SD sampai kuliah, rasanya Indonesia tidak pernah lepas dari narasi sebagai “negara berkembang”.

Akhirnya, pungguk bersua dengan rembulan yang dirindukannya. Sebuah studi terbaru oleh McKinsey & Company memproyeksikan bahwa Indonesia berpeluang menjadi negara dengan perekonomian terkuat ketujuh di dunia pada tahun 2030 mendatang, dengan syarat mampu menerapkan strategi pemulihan pandemi secara taktis. Momentum ini juga bertepatan dengan bonus demografi, di mana generasi muda produktif mendominasi populasi suatu negara.

Hanya ada satu kesempatan untuk mengubah fatamorgana menjadi realita, yaitu dalam 10-25 tahun mendatang. Dengan penerapan ekonomi sirkular dan ekonomi donat, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju dengan tingkat degradasi hutan dan lingkungan yang rendah.

Menggemparkan Dunia Internasional

Kita pasti tahu kalau kebakaran hutan dan lahan bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Setiap tahunnya di beberapa daerah, ada saja masa-masa di mana horizon dipenuhi asap putih hingga kemerahan yang menyesakkan dada.

Rekam jejak tahun-tahun sebelumnya mengungkapkan bahwa kasus kebakaran hutan akan semakin membuas jika terjadi El Nino, yaitu anomali iklim karena kenaikan suhu permukaan lautan di Samudera Pasifik. Awan hujan yang biasa terbentuk di bagian barat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia, akan bergeser ke bagian tengah dan timur. Akibatnya, Indonesia mengalami kekeringan dahsyat.

Pergerakan air hangat selama El Nino (sumber: Borneo Nature Foundation)

Kebakaran hutan terparah di Indonesia dalam 20 tahun terakhir terjadi pada tahun 2015 dan 2019. Kasus ini menjadi perbincangan panas di kancah internasional. Sepanjang tahun 2019, setidaknya terdapat 857.756 hektar hutan Indonesia yang luluh lantah dan 709 juta emisi karbon yang lepas ke atmosfer! Sebagai perbandingan, emisi karbon tersebut lebih tinggi 22% dibandingkan kebakaran hebat di Amazon pada tahun yang sama.

Asap pembakaran juga menimbulkan masalah di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, meskipun terungkap juga bahwa kebakaran hutan turut terjadi di beberapa daerah di Malaysia.

Singapura bahkan mengeluarkan kebijakan transboundary act yang melegalkan penangkapan bos korporasi, meskipun bukan warga negaranya, yang terlibat dalam kasus karhutla di Indonesia yang merugikan negaranya. Hal ini seolah menjadi puncak kekesalan dan tamparan keras bagi Indonesia yang dinilai tidak becus menangani karhutla.

Urgensi akan Resonansi Empati

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, provinsi yang menjadi lokasi kebakaran hutan sebenarnya itu-itu saja. Dalam 5 tahun terakhir, kebakaran telah membumihanguskan lebih dari 5 juta hektar hutan dan lahan di semua pulau besar di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Jawa, dan Nusa Tenggara.

Kebakaran hutan dan lahan di provinsi Indonesia (sumber: Auriga Nusantara dari KLHK)

Kasus kebakaran hutan di suatu provinsi biasanya terjadi pada bulan-bulan tertentu saja. Akan tetapi, setiap provinsi tersebut seolah "saling melengkapi" sehingga kebakaran hutan di Indonesia terjadi sepanjang tahun.

Sebagai contoh, hutan dan lahan gambut di Riau biasanya sudah mulai terbakar pada bulan Januari dan berakhir pada September, sedangkan di Papua baru mulai bulan September dan berakhir bulan Desember.

Jika dianalisis lebih lanjut, karhutla di Indonesia bisa terjadi di kawasan hutan maupun kesatuan hidrologis gambut. Kawasan hutan yang dimaksud adalah sekumpulan area yang telah ditetapkan dalam regulasi pemerintah untuk sepenuhnya difungsikan sebagai hutan. 

Sedangkan gambut merupakan area yang mengandung kadar bahan organik yang tinggi (minimal 30%) sehingga rentan terbakar. Sebagai negara dengan luas gambut terbesar kedua di dunia (sekitar empat kali luas Spanyol), Indonesia sangat rentan mengalami kebakaran.

Perbandingan lokasi kebakaran hutan dan gambut (sumber Auriga Nusantara)

Kebakaran di lahan gambut tidak saja menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih besar dibandingkan lahan mineral, namun juga sulit dipadamkan karena titik api bisa saja terletak di bawah permukaan tanah.

Meskipun berbagai upaya mitigasi telah dilakukan, sayangnya hampir sebagian dari total kasus karhutla terjadi di lokasi yang sama setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu pendekatan yang berbeda untuk menumbuhkan rasa kepemilikan akan hutan dan lahan.

Kasus kebakaran berulang di Indonesia (sumber: Auriga Nusantara)

Harapannya, hal tersebut bisa mengurangi kasus kebakaran hutan berulang kali. Keledai saja tidak mau jatuh ke lubang yang sama ‘kan?

Dalam gathering virtual yang diadakan pada Juni 2021 oleh #EcoBloggerSquad, sebuah komunitas blogger pecinta lingkungan, terkuak berbagai kisah pilu yang dituturkan langsung oleh rekan-rekan blogger terdampak karhutla yang berasal dari daerah Kalimantan. Mereka berbagi kisah yang membuat saya terenyuh.

 “Sering banget ngalamin gangguan pernapasan akibat karhutla. Ngga cuma saya sendiri, anak saya yang masih kecil pun ikutan sesak napas!”

“Kalau musim kebakaran, biasanya sekolah di sini jadi libur. Pesawat juga ngga bisa mengudara tuh.”

“Udah capek ngalamin hal begini, setiap tahun pasti kejadian!”

Ironisnya, dalang yang bertanggung jawab atas kasus karhutla hanya membagi-bagikan kerugiannya saja. Keuntungannya? Ya dinikmati sendiri lah!

Berdasarkan data tahun 2019, setidaknya terdapat 7 kerugian yang bisa diidentifikasi:

  • Indonesia diperkirakan merugi 72,95 triliun Rupiah hanya karena kebakaran hutan pada tahun 2019.
  • Penderita ISPA diperkirakan meningkat 100% dibandingkan tahun sebelumnya.
  • UNICEF memperkirakan 10 juta anak berpotensi mengalami gangguan kesehatan.
  • Kemendikbud memperkirakan 46.000 sekolah dan 7,8 juta murid terpaksa diliburkan dari kegiatan menimba ilmu. 
  • Kemenhub memperkirakan terdapat sekitar 30% penerbangan yang terpaksa dibatalkan.
  • Jarak pandang di Pekanbaru, Riau, pernah turun signifikan pada kisaran 300 meter (normalnya 5 km). 
  • Langit pada siang hari di empat desa Provinsi Jambi berwarna kemerahan, bak diserang tokoh protagonis pada film superhero. Warga terpaksa harus menyalakan lampu di dalam rumah.

Langit merah di Jambi akibat kebakaran hutan (sumber BBC)

Berbagai dampak negatif deforestasi dan kebakaran hutan, mungkin tidak dialami semua orang. Kita yang hidup di hiruk pikuk metropolitan mungkin belum pernah merasakan langsung sesaknya nafas, pedihnya penglihatan, hingga lumpuhnya aktivitas harian akibat kepulan asap. Sampai titik ini, empati adalah hal yang perlu dipupuk bersama-sama.

Dengan meremajakan empati yang penuh ketulusan, hati kita bisa beresonansi terhadap berbagai “penderitaan” tersebut, walau belum pernah mengalaminya secara langsung. Resonansi yang terakumulasi sampai level tertentu akan mendorong kita untuk bertindak lebih.

Pandemi Dari Perspektif Lain

Tak berhenti sampai di sana, kebakaran hutan juga menghilangkan habitat bagi beragam satwa liar. Hewan liar pun akhirnya mencari “rumah” baru hingga ke area pemukiman penduduk. Ini tentu sangat meresahkan, karena hewan liar bisa saja bertindak agresif dan membahayakan.

Hewan liar juga diketahui menjadi reservoir alami bagi virus-virus tertentu yang aman bagi mereka, namun bisa saja berbahaya bagi manusia.

Lini masa pandemi dalam sejarah umat manusia (sumber Yayasan ASRI)

Virus patogenik (merugikan bagi kesehatan manusia) yang bertransmisi dari hewan liar ke manusia, pada banyak kasus, bisa ditransmisikan juga ke manusia lain. Kalau sudah begitu, bisa terjadi wabah, atau bahkan pandemi, tergantung seberapa cepat dan luas penyebarannya.

Pandemi yang pernah terjadi (sumber Yayasan ASRI)

Sebagai contohnya, semua pasti sudah tahu kalau pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini pun diduga berasal dari virus yang awalnya ditransmisikan oleh kelelawar liar yang dikonsumsi manusia. COVID-19 hanyalah satu dari sekian jenis pandemi yang pernah menghampiri sejarah umat manusia.

Pencegahan timbulnya pandemi bisa dimulai dari langkah yang mungkin tidak terpikirkan: menjaga alam dan habitat hewan liar sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hewan liar bisa hidup berdampingan dengan manusia tanpa adanya kontak fisik secara intensif.

Virus dan patogen berbahaya biarlah tetap bersemayam di rimbunan hutan belantara, terisolasi jauh dari peradaban kita.


Bicara Kebijakan

Prof Bambang Hero Saharjo, Peraih John Maddox Prize (sumber Mongabay)

Prof. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Kehutanan IPB sekaligus penerima penghargaan internasional John Maddox Prize, menuturkan bahwa 99% kasus karhutla di Indonesia terjadi akibat kejahatan oknum tertentu.

Oleh karena itu, beliau berpendapat bahwa karhutla sangat mungkin untuk dicegah asalkan dilakukan secara fokus, tepat sasaran, dan menjadi prioritas.

Problematika kebakaran hutan yang bersifat kompleks dan multidimensi memang harus diselesaikan bersama-sama oleh semua pihak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kewenangan pemerintah adalah ujung tombaknya.

Menurut Dedy Sukmara, Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara, setidaknya terdapat 6 kebijakan yang sudah/dapat diterapkan pemerintah untuk memenangkan medan pertempuran kebakaran hutan. Kita akan membahasnya lebih detail (+1 tambahan dari saya, hehe).

1. Memperluas Moratorium Hutan dan Gambut

Moratorium hutan dan gambut adalah kebijakan yang menghentikan penerbitan izin baru di wilayah hutan alam dan gambut. Pertama kali diterbitkan oleh Presiden SBY yang berlaku setiap 2 tahun sekali, kini kebijakan moratorium hutan dan gambut telah diberlakukan secara permanen oleh Presiden Jokowi.

Upaya ini dinilai mampu menyelamatkan sekitar 66,2 juta hektar hutan alam primer dan gambut yang masih dimiliki Indonesia. Selain itu, kebijakan moratorium juga menguntungkan bagi masyarakat adat yang tinggal di 9.261 desa yang masuk ke area moratorium.

2. Meningkatkan Penegakan Hukum

Sejauh ini, Walhi Kalimantan Barat menganggap penegakan hukum kasus kebakaran hutan seperti “tajam ke bawah namun tumpul ke atas”. Hukum seperti hanya diberlakukan kepada masyarakat dan petani kecil, tetapi tidak berlaku untuk oknum korporat.

Memang benar terdapat beberapa kasus kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh masyarakat adat sekitar, namun jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, prosesi pembakaran hutan tersebut bersifat ritual dengan ketentuan yang jelas serta dilakukan secara terkendali.

Justru kasus karhutla dan deforestasi yang terjadi besar-besaran saat ini didominasi oleh aktivitas industri pada level korporat, bukan masyarakat kecil.

Hukum yang baik harus mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan. Sebagai bukti implementasi hukum yang handal, seharusnya kasus kejahatan dapat berkurang secara signifikan.

3. Restorasi Hutan dan Gambut Terdegradasi

Restorasi hutan dan gambut adalah melakukan segala upaya yang dibutuhkan untuk mengembalikan kembali karakteristik hutan dan gambut seperti sedia kala, termasuk flora, fauna, tanah, iklim, sehingga mencapai kesetimbangan seperti awal.

Tantangan Bonn (Bonn Challenge) menargetkan dunia harus merestorasi 150 juta hektar hutan dan lahan pada 2020, serta 350 juta hektar pada 2030. Hingga saat ini, Tantangan Bonn sudah diikuti oleh 61 negara dan telah menyentuh angka 210,12 juta hektar.

4. Mendukung Komunitas Pemadam Kebakaran Hutan dan Kapabilitas Pemantauan

Pemadam kebakaran adalah ujung tombak dalam setiap pertarungan menjinakkan si jago merah. Selain melakukan tindakan kuratif, pemadam kebakaran hutan juga mengupayakan tindakan preventif dan pemantauan.

Penguatan pemadam kebakaran hutan dan sistem pemantauan sudah sepatutnya menjadi salah satu hal yang diprioritaskan dalam penanganan karhutla. Sebagai garda terdepan, pemadam kebakaran hutan harus dibekali sarana, infrastruktur, dan pengetahuan yang memadai.

5. Membangun Infrastruktur Hidrologi dan Mendorong Kapasitas Respon Dini

Infrastruktur hidrologi adalah prasarana yang dibutuhkan untuk menampung air seperti waduk, bendungan, maupun aliran sungai. Infrastruktur hidrologi berperan penting untuk aktivitas pertanian dan produksi pangan. Keberadaan infrastruktur hidrologi di dekat kawasan hutan secara tidak langsung mampu mencegah suhu panas yang ekstrem, sehingga mencegah terjadinya kebakaran.

Selain itu, infrastruktur hidrologi memungkinkan upaya pemadaman karhutla berjalan lebih responsif, efektif, dan efisien. Kebakaran dapat dipadamkan sedini mungkin sehingga mereduksi penjalaran api.

6. Memberi Insentif Ekonomi untuk Tidak Membakar

Motif yang paling umum melandasi pembakaran hutan adalah membuka lahan untuk keperluan tertentu dengan instan (cepat) dan biaya yang kecil. 

Dengan memberikan insentif ekonomi, harapannya para pelaku pembukaan lahan bisa memiliki motivasi untuk menggunakan cara yang lebih aman.

7. (BONUS!) Implementasi Carbon Tax

Carbon tax atau pajak karbon adalah pajak yang dibebankan atas emisi karbon yang dihasilkan dalam suatu kegiatan/sektor yang terbukti menghasilkan emisi karbon besar-besaran. Karena emisi karbon sebagian besar dihasilkan pada level korporasi, maka sasaran yang tepat untuk implementasi kebijakan ini ada pada level perusahaan.

Intinya, semakin "sembrono" suatu barang atau jasa dihasilkan, semakin tinggi pajak yang dibebankan kepada korporat.

Perusahaan selalu mencari laba, sehingga pajaknya akan dibebankan kepada harga produk atau jasanya, alias konsumen. Namun bukan berarti korporat bisa berleha-leha seperti di pantai, karena kompetitor yang lebih ramah lingkungan dapat menjual produknya dengan harga yang lebih murah. Jika begitu, konsumen akan pindah hati ke produk kompetitor.

Pada akhirnya, setiap perusahaan akan "dipaksa" agar merevitalisasi model bisnisnya agar lebih ramah lingkungan, termasuk juga upaya melestarikan hutan.

Pajak karbon yang diterima oleh negara akan dialokasikan kepada sektor-sektor yang terkait dengan pemeliharaan hutan dan alam. Kebijakan ini telah sukses membawa Finlandia, Swedia, dan Norwegia untuk mengurangi emisi karbonnya hingga 25%.

Mulai Berbuah, Sedikit Namun Manis

Meskipun sering terdengar hal negatifnya, jangan memandang sebelah mata akan perjuangan yang telah dilakukan oleh banyak pihak. Tertatih-tatih memang, namun cukup nyata.

Indonesia berpartisipasi secara aktif dalam program bernama Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Program ini bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan khususnya di negara berkembang. Negara yang berpartisipasi akan diberikan bantuan berupa kucuran dana sesuai dengan hasil yang berhasil dicapai (result-based payment).

Hubungan Bilateral Indonesia - Norwegia dalam program REDD+ (sumber: Kemenlu)

Sebagai hasil penerapan REDD+, pada tahun 2020 Indonesia menerima 103,8 juta dollar AS dari Green Climate Fund PBB dan 56 juta dollar AS dari Pemerintah Norwegia. Dengan kucuran dana tersebut, harapannya melahirkan semangat terbaharukan dan berbagai solusi taktis.

Penutup…

Krisis iklim dan lingkungan hidup adalah problematika multidimensi yang harus menjadi salah satu prioritas bagi kita semua tanpa terkecuali, sebab mencegah selalu jauh lebih mudah dibandingkan merestorasi. Sekali pun bisa, rasanya sangat sulit untuk mengembalikannya sama persis seperti awal.

Apalagi sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa dunia hanya punya waktu sekitar 9 tahun tersisa (pada saat tulisan ini dibuat) untuk melakukan segala upaya untuk mencegah krisis biosfer yang tak dapat dikembalikan.

Dunia yang kita tempati saat ini tidak hanya dipenuhi orang-orang jahat. Ada banyak juga orang yang mencurahkan siang dan malamnya demi kita semua. Jika Anda adalah salah satunya, saya berterima kasih atas jerih payah selama ini.

At the end of the day, pertanyaan yang sering muncul adalah satu: bagaimana kontribusi orang awam seperti saya (atau bisa dibilang… kita).

At least, sadar dan empati aja dulu. Keduanya amat berharga.

Sebagai tambahan, ada yang memilih berjuang dengan merubah gaya hidupnya menjadi green lifestyle seperti mengonsumsi brand/produk yang environmental friendly hingga menjadi vegan/vegetarian.

Ada juga yang memilih berkoar-koar receh seperti saya. Sibuk posting di blog dan medsos, serta sesekali berdiskusi dengan teman tongkrongan.

Ada juga yang fokus mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Indonesia di masa depan.

Apa pun jalan ninja yang kamu pilih, taruhlah niat ini di posisi paling tinggi di antara niatan lainnya… untuk Indonesia.

Artikel ini dipublikasikan dalam rangka merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post