Pemanasan global merupakan fenomena yang ramai diperbincangkan oleh berbagai pihak, mulai dari pelajar, eksekutif korporasi, hingga petinggi pemerintahan.
Saya pribadi telah mendengar istilah pemanasan global sejak masih duduk di bangku SD. Kini, setelah belasan tahun lamanya, fenomena pemanasan global malah semakin menyita perhatian.
Tulisan ini akan mengupas pemanasan global dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan relevan seperti:
- Sebenarnya apa sih pengertian pemanasan global?
- Kira-kira, apa yang menjadi penyebab dari pemanasan global?
- Kalau sudah terjadi, apa dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global?
- Bisakah kita mencegah atau mengurangi pemanasan global?
Selamat membaca!
{tocify}
Pengertian Pemanasan Global
Pemanasan global atau global warming adalah fenomena meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi.
Pengamatan dan pencatatan suhu bumi dengan teknologi modern telah dilakukan sejak tahun 1880 silam. Jika seluruh data tentang suhu bumi tersebut dibuat menjadi sebuah grafik, tentu akan sangat mudah untuk menyimpulkan bahwa suhu bumi terus mengalami peningkatan hingga saat ini.
Meskipun para ilmuwan memiliki catatan suhu bumi sejak tahun 1880, beberapa lembaga penelitian menggunakan tahun yang berbeda sebagai acuan untuk menggambarkan seberapa parahnya pemanasan global dan peningkatan suhu bumi.
IPCC, sebuah lembaga penelitian perubahan iklim di bawah PBB, menggunakan suhu bumi pada zaman pre-revolusi industri yang terjadi pada tahun 1850-1900 sebagai acuan untuk mengukur seberapa besar kenaikan suhu hingga saat ini.
Sedangkan NASA menggunakan suhu pada periode 1951-1980 sebagai tolok ukur untuk menghitung kenaikan suhu bumi.
Peningkatan suhu bumi (sumber: NASA) |
Dari gambar di atas, kita dapat dengan mudah mengamati pergerakan trend suhu global yang kian meningkat sejak pertengahan abad ke-19 sampai tahun 2020.
Penyebab Pemanasan Global
Penyebab dari kenaikan suhu bumi dan pemanasan global adalah efek rumah kaca.
Efek rumah kaca merupakan istilah untuk menggambarkan fenomena penyerapan inframerah dari sinar matahari, yang dilakukan oleh gas rumah kaca di atmosfer.
Contoh gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), kloroflorokarbon (CFC), nitrogen oksida (N2O), ozone (O3), dan uap air (H2O).
Sebelum lebih jauh, pernahkah kamu terpikir mengapa istilah tersebut dinamakan efek rumah kaca dan gas rumah kaca ya? Bukannya rumah kaca adalah suatu jenis bangunan? Apakah rumah kaca berkaitan dengan efek rumah kaca maupun gas rumah kaca?
Yup, rumah kaca sebenarnya adalah suatu bangunan yang atapnya terbuat dari material transparan (biasanya kaca) sehingga mampu mengumpulkan energi panas dari sinar matahari. Rumah kaca digunakan untuk keperluan pertanian dan budidaya tanaman.
Efek rumah kaca dan gas rumah kaca dinamakan demikian sebab keduanya menyerupai fenomena yang terjadi pada bangunan rumah kaca, yaitu sama-sama menyerap dan mengumpulkan energi panas.
Jadi, penggunaan kata-kata "rumah kaca" sebenarnya hanya analogi saja. Bangunan rumah kaca sama sekali tidak berhubungan sebab-akibat dengan pemanasan global, gas rumah kaca, maupun efek rumah kaca. Jangan salah paham yah!
Oke, kembali ke topik utama.
Sebagaimana telah kita ketahui, gas rumah kaca memiliki kemampuan untuk menyerap inframerah dari sinar matahari.
Jika tidak berlebihan, efek rumah kaca sebenarnya memiliki dampak positif, karena bisa menjaga suhu bumi tetap hangat. Justru kalau tidak ada gas rumah kaca sama sekali, seluruh inframerah dari matahari akan terpantul kembali ke ruang angkasa.
Gas rumah kaca baru menimbulkan masalah ketika konsentrasinya terus melonjak seperti saat ini, sehingga turut meningkatkan penyerapan inframerah matahari. Sebagai akibatnya, suhu bumi juga terus mengalami peningkatan.
Kalau pemanasan global disebabkan karena efek rumah kaca, sedangkan efek rumah kaca disebabkan karena gas rumah kaca, lantas dari mana sumber gas rumah kaca?
Terdapat dua faktor yang mengakibatkan tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi, yaitu faktor alami dan faktor manusia.
Faktor Alam
Sesuai namanya, faktor alam yang mengakibatkan kenaikan gas rumah kaca dan pemanasan global sepenuhnya disebabkan oleh kejadian atau fenomena alam seperti aktivitas vulkanik dan gunung berapi.
Ketika sedang aktif, gunung berapi dapat memuntahkan berbagai material seperti abu vulkanik, pasir, bebatuan, hingga berbagai gas seperti sulfur dioksida dan karbon dioksida.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa karbon dioksida tergolong sebagai gas rumah kaca yang dapat meningkatkan suhu bumi.
Meskipun demikian, jumlah karbon dioksida yang dilepaskan oleh aktivitas vulkanik masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan karbon dioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Aktivitas vulkanik diperkirakan "hanya" melepaskan 0,13-0,44 gigaton karbon dioksida per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan aktivitas manusia pada tahun 2010 yang menghasilkan 35 gigaton karbon dioksida, atau 80-270 kali lebih banyak dibandingkan aktivitas vulkanik.
Selain aktivitas vulkanik, aktivitas matahari juga kerap disangkutpautkan dengan pemanasan global, meskipun sebenarnya tidak ada kaitannya dengan gas rumah kaca.
Lantas, apakah aktivitas matahari tergolong salah satu penyebab pemanasan global?
Sayangnya, bukan.
Para ilmuwan telah mengukur intensitas energi matahari yang diterima bumi dengan bantuan sensor di satelit. Jika diamati dalam skala tahunan, matahari memang memancarkan energi yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
Namun, data yang dikumpulkan dari tahun 1978 sampai saat ini tidak menunjukkan adanya trend peningkatan. Di saat yang bersamaan, suhu global terus saja meningkat.
Berbekal data tersebut, NASA menyimpulkan bahwa fluktuasi aktivitas matahari yang terjadi setiap tahunnya bukanlah penyebab dari pemanasan global yang terjadi saat ini.
Faktor Manusia
Menurut para ilmuwan dan lembaga riset (termasuk NASA), pemanasan global yang terjadi saat ini merupakan dampak negatif dari berbagai aktivitas manusia, seperti penyediaan energi, pangan, dan berbagai sektor lainnya.
Padahal, tanpa adanya intervensi dari manusia, faktor alam seharusnya mendinginkan suhu planet kita, bukannya memanaskan seperti yang terjadi saat ini.
Dengan dalih pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, aktivitas umat manusia (ya, termasuk kita semua) turut andil dalam melepaskan gas rumah kaca secara besar-besaran ke atmosfer bumi.
Pada tahun 2019 saja, manusia telah melepaskan 35 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer, hanya dengan membakar bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara, dan gas alam. FYI, 35 miliar ton itu hampir mencapai setengah dari bobot planet bumi lho!
Jika dihitung dalam bentuk konsentrasi, pada tahun 2021 konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah mencapai 417 ppm, atau naik 50% dari sebelum revolusi industri yang "hanya" bernilai 278 ppm.
Salah satu penyebabnya adalah kita sangat kecanduan dengan bahan bakar fosil. Sebanyak 84,3% kebutuhan energi global dihasilkan dari bahan bakar, jadi wajar saja jika sektor energi menempati posisi pertama sebagai sektor penghasil gas rumah kaca terbesar secara global.
Tidak hanya sampai di situ. Dengan membludaknya jumlah penduduk global, dibutuhkan lahan yang semakin luas untuk menyokong kehidupan dan memberi makan 7+ miliar orang.
Sebagai akibatnya, pembukaan hutan atau deforestasi kian merajalela khususnya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia yang masuk ke peringkat kelima sebagai negara dengan jumlah kehilangan hutan terbesar di dunia sejak tahun 2000-2020.
Apabila ditinjau dari sudut pandang lingkungan, deforestasi jelas memperparah pemanasan global.
Tanpa hutan, pepohonan, dan organisme produsen lainnya, kita tidak bisa menyerap karbon yang sudah terlanjur lepas ke atmosfer. Di satu sisi, peradaban kita dibangun dengan teknologi yang melepaskan karbon dan gas rumah kaca ke atmosfer. Besar pasak daripada tiang.
Kondisi tersebut semakin diperparah jika metode pembukaan hutan dilakukan dengan cara membakar, karena akan semakin menambah emisi gas rumah kaca.
Di Indonesia sendiri, kebakaran hutan yang terjadi sepanjang tahun 2021 setidaknya telah melepaskan 41,4 juta ton karbon dioksida. Itu baru di Indonesia lho, belum menghitung negara lain!
Dampak Pemanasan Global
Menurut IPCC, suhu bumi pada tahun 2021 telah meningkat sebesar 1,1°C jika dibandingkan dengan era sebelum revolusi industri.
Kalau dilihat dari angkanya, sepintas kenaikan suhu bumi terlihat seperti butiran debu, yaitu "hanya" sebesar 1,1°C. Tapi, apakah betul demikian?
Well, memang kecil kok... kalau sudut pandangnya hanya sebatas pergerakan cairan pada termometer.
Namun ceritanya akan sangat berbeda jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, seperti mengamati dampak pemanasan global terhadap makhluk hidup, kondisi biosfer, serta berbagai bencana yang terjadi di bumi.
Kenaikan suhu bumi melebihi 2°C bisa mengakibatkan krisis ekologi, sosial, dan ekonomi yang begitu dahsyat, bahkan kerusakannya tidak dapat dikembalikan lagi seperti semula (irreversible).
Sebagai upaya mitigasi yang penuh dengan prinsip kehati-hatian, para ilmuwan menetapkan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C sebagai batas aman yang tidak boleh terlampaui.
Kalau suhu bumi benar-benar naik 1,5°C, hal buruk berikut akan menghampiri kita:
- Risiko terjadinya bencana banjir naik mencapai 100%
- Kekeringan parah berdampak pada 350 juta penduduk global yang tinggal di perkotaan
- Krisis iklim memengaruhi kehidupan 6% spesies serangga, 8% spesies tumbuhan, dan 4% spesies hewan bertulang belakang (vertebrata)
- Gelombang panas ekstrem berdampak pada 700 juta penduduk global, setidaknya sekali dalam 20 tahun
- Musim panas tanpa es di kutub utara terjadi setidaknya sekali setiap 100 tahun
- Air laut meningkat sebesar 48 cm hingga akhir tahun 2100, dan berdampak pada 46 juta orang
- Fenomena pemutihan terumbu karang (coral bleaching) menimpa 70% populasi terumbu karang dunia
- Turunnya produktivitas dan nutrisi dari tanaman pangan, khususnya tanaman pangan yang tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia
- Meningkatnya beban ekonomi yang dialami oleh tiap negara, khususnya bagi negara yang berpenghasilan rendah.
Saya sudah membuat postingan terpisah yang membahas dampak pemanasan global secara lebih terperinci. Silakan klik tautan di bawah ini untuk membaca yah!
Baca juga: 9 Malapetaka yang Dapat Terjadi Jika Suhu Bumi Naik 1,5°C
Upaya Mencegah dan Mengatasi Pemanasan Global
Untuk bisa memecahkan suatu masalah dan memberikan rekomendasi, pertama-tama kita harus mengerti akar permasalahannya.
Sebagaimana telah kita ketahui, penyebab utama dari pemanasan global adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer, selama kita mampu menyerapnya kembali. Masalah baru akan muncul ketika terjadi ketidakseimbangan, yaitu tingginya laju pelepasan tersebut tidak sebanding dengan laju penyerapannya.
Ketika kita telaah lebih dalam per sektor industri, menurut Our World in Data ternyata sektor penyumbang emisi karbon adalah:
- Sektor energi (73,2% dari total emisi karbon)
- Sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan (18,4%)
- Sektor industri semen dan bahan kimia (5,2%)
- Sektor pengolahan limbah dan tempat pembuangan sampah (3,2%)
Sumber emisi gas rumah kaca berdasarkan sektor (sumber: Our World in Data) |
Dari data tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa sektor energi sangat penting untuk diprioritaskan, mengingat sektor tersebut memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap total emisi karbon dan pemanasan global. Namun pada postingan ini, akan dibahas pula rekomendasi tambahan yang menyangkut sektor lainnya.
Lantas bagaimana rekomendasi untuk mencegah dan mengatasi pemanasan global?
Transisi Menuju Energi Rendah Karbon
Pada hakikatnya, tidak ada sumber energi yang sepenuhnya bersih dari jejak karbon, meskipun sumber energinya bukan dari bahan bakar fosil.
Energi hanya bisa diperoleh melalui proses konversi dari bentuk energi lain. Ketika melakukan proses konversi tersebut, ada saja proses atau tahapan yang menghasilkan jejak karbon. Oleh karena itu, tidak ada istilah energi bebas karbon. Yang ada hanyalah energi rendah karbon.
Pada umumnya, energi rendah karbon termasuk sebagai energi terbarukan, karena sumbernya dapat terus diperoleh secara terus-menerus, baik secara alami, maupun melalui tahapan pemeliharaan atau budidaya.
Dengan menggunakan energi rendah karbon, setidaknya kita bisa mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca tidak memperburuk pemanasan global yang sudah terlanjur terjadi. Jika dikombinasikan dengan penyerapan emisi yang sudah terlanjur lepas ke atmosfer, kita bisa mencapai net zero emission, atau kondisi di mana terjadi keseimbangan antara jumlah karbon yang dilepaskan dan yang diserap.
Yang jadi masalahnya, kita sudah terlanjur ada di status quo penggunaan energi fosil. Contohnya saja, sebanyak 63,3% dari total energi listrik global dihasilkan dari bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam.
Sumber energi total dan energi listrik skala global (sumber: Our World in Data) |
Meskipun sudah kecanduan energi fosil, saat ini dunia kita sedang dalam transisi menuju sumber energi ramah lingkungan seperti energi air, energi angin, energi surya, dsb. Selain rendah karbon, energi tersebut juga dapat diproduksi secara berkelanjutan.
Yang menarik, saat ini energi ramah lingkungan berupa energi surya juga sudah bisa dinikmati pada skala rumah tangga lho! Cukup dengan menginstal panel surya, kebutuhan energi listrik rumah dapat terpenuhi tanpa harus berlangganan dari PLN.
Meskipun demikian, saat ini harga panel surya dan biaya instalasinya masih tergolong mahal. Namun seiring bertambahnya permintaan pasar serta berjalannya riset dan pengembangan, saya yakin ke depannya harga panel surya akan melandai.
Menurunkan Deforestasi Hutan
Maraknya deforestasi mengakibatkan penurunan area hutan dan jumlah tumbuhan yang melakukan fotosintesis. Akibatnya, semakin rendah penyerapan karbon yang sudah terlanjur lepas ke atmosfer.
Yang lebih parah lagi, banyak kasus deforestasi yang dilakukan dengan cara pembakaran, seperti pada lahan gambut. Kebakaran hutan tidak hanya mengurangi area hutan dan jumlah pepohonan, namun juga melepaskan karbon dalam jumlah masif sehingga semakin memperparah pemanasan global!
Padahal, hutan sangat penting untuk menyerap karbon yang sudah lepas sehingga pada akhirnya mampu menjaga keseimbangan siklus karbon. Hutan dengan segala jenis tumbuhan yang ada di dalamnya diperkirakan bertanggung jawab terhadap 20-50% proses fotosintesis yang terjadi di bumi.
Lantas bagaimana upaya demi menurunkan laju deforestasi? Saya telah membuat artikel khusus yang memuat 7 Upaya untuk Menekan Deforestasi dan Kebakaran Hutan, silakan klik untuk membaca yah!
Melindungi Ekosistem Laut
Tahukah kamu, bahwa organisme laut berupa plankton berkontribusi terhadap 50-80% fotosintesis yang terjadi di bumi? Dengan persentase sebesar itu, peranan lautan sangat dominan untuk mencegah pemanasan global sekaligus menyediakan oksigen bagi makhluk hidup, termasuk manusia.
Dengan demikian, laut sebenarnya adalah tulang punggung yang menyediakan berbagai kebutuhan bagi segala bentuk kehidupan yang ada di daratan.
Namun sayangnya, saat ini ekosistem laut sedang diterpa krisis. Maraknya fenomena penangkapan berlebihan (overfishing) dan pencemaran (khususnya sampah plastik) dapat merusak ekosistem laut dan menganggu jaring-jaring makanan.
Di antara berbagai jenis pencemaran, sampah plastik merupakan yang paling mengkhawatirkan. Sampah plastik yang dibuang di aliran sungai serta daerah sekitar pantai akan berakhir di laut. Sudah banyak terjadi kasus organisme laut yang terjebak akibat tumpukan sampah plastik, maupun yang memakannya.
Saking banyaknya sampah plastik yang terbawa ke lautan, di Samudra Pasifik terdapat "pulau plastik raksasa" yang dinamakan Great Pacific Garbage Patch! Padahal plastik membutuhkan waktu selama 20-600 tahun untuk terdekomposisi. Selama itu pula Great Pacific Garbage Patch akan tetap ada.
Great Pacific Garbage Patch, tempat berkumpulnya sampah plastik di tengah Samudera Pasifik |
Oleh karenanya, salah satu langkah paling mudah yang bisa kita lakukan untuk melindungi lautan adalah dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kebetulan hal tersebut sudah pernah saya bahas pada postingan berjudul Green Lifestyle untuk mewujudkan SDGs 2030.
Mengonsumsi Pangan Nabati Daripada Hewani
Sektor pangan dan pertanian memiliki andil yang cukup besar sebagai penghasil emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Salah satu penyebab tingginya emisi pada sektor pangan dan pertanian adalah tingginya permintaan produk pangan hewani.
Hewan ternak diketahui menghasilkan jejak karbon yang sangat besar. Mereka adalah penghasil emisi karbon seperti metana dan gas karbon dioksida. Selain itu, mereka juga membutuhkan lahan yang luas dan air yang banyak.
Oleh karena itu, kita bisa mengurangi konsumsi produk hewani dengan beralih kepada produk pangan alternatif berbasis nabati. Selain mengurangi emisi gas rumah kaca, mengonsumsi lebih banyak porsi produk pangan berbasis nabati juga bermanfaat untuk kesehatan sebab produk nabati tidak mengandung kolesterol.
Apalagi saat ini kita memiliki pilihan yang lebih bervariasi, karena sudah banyak produk daging dan susu yang terbuat dari tumbuhan. Produk hewani berbasis nabati tersebut umumnya dikembangkan untuk menjawab permintaan produk vegan yang semakin tinggi.
Membiasakan Pola Konsumsi yang Bertanggung Jawab
Saat ini kesenjangan ekonomi ada pada kondisi ekstrem. Aset dan kekayaan tidak terdistribusi secara merata. Bayangkan, hanya 1% populasi global mampu memiliki 82% total kekayaan global!
Banyak orang kaya (tidak semuanya) cenderung memanfaatkan uang untuk sesuatu yang sifatnya konsumtif secara tidak bertanggung jawab. Kekayaan kerap membuat manusia menjadi gelap mata sehingga mudah membeli segala sesuatu yang diinginkan, sekaligus dengan mudahnya membuang barang tersebut meskipun sebenarnya masih bagus secara fungsional.
Perilaku buruk itu terjadi di mana-mana dan berlaku untuk hampir semua barang mulai dari makanan, pakaian, hingga gadget dan perangkat teknologi.
Padahal, proses pembuatan berbagai barang tentunya menguras sumber daya alam serta menghasilkan emisi gas rumah kaca. Belum lagi kalau dibuang padahal masih dalam keadaan bagus, tentunya hanya akan tertumpuk di tempat sampah, plus menghasilkan emisi tambahan.
Dengan membudayakan pola konsumsi bertanggung jawab, kita tidak perlu "merampas" dan "membuat sampah" yang sebenarnya bisa dicegah. Jika memungkinkan, daripada membeli barang baru, kita juga bisa beralih membeli barang bekas yang masih dalam kondisi baik, seperti thrift fashion atau barang preloved yang akhir-akhir ini sedang naik daun.
Penutup
Sampai saat ini, saya percaya bahwa pemanasan global dan degradasi lingkungan adalah skenario kiamat yang paling masuk akal. Well, setidaknya masih jauh lebih masuk akal dibandingkan serangan alien ataupun hantaman meteor raksasa, seperti yang sering diilustrasikan pada film layar lebar.
It's time to act, now or never.