9 Malapetaka Dahsyat yang Dapat Terjadi Jika Suhu Bumi Naik 1,5°C

Dampak pemanasan global mungkin belum disadari oleh banyak orang. Meskipun demikian, dampak pemanasan global sebenarnya nyata bagi kita semua.

Meskipun sering dinarasikan sebagai sesuatu yang buruk, sebenarnya pemanasan global juga mempunyai dampak positif lho. Pemanasan global membuat suhu bumi tetap hangat untuk dihuni oleh beragam makhluk hidup.

Namun jika sampai ke level ekstrem, pemanasan global justru membawa banyak malapetaka bagi segala bentuk kehidupan kehidupan di bumi, termasuk manusia.

Yang menjadi pertanyaan, adakah suatu besaran yang bisa dijadikan tolok ukur dari tingkat keparahan pemanasan global? Jawabannya, ada!

Menurut para ilmuwan, tingkat keparahan pemanasan global dapat diketahui dari peningkatan suhu global, dengan acuan berupa suhu global pada masa sebelum revolusi industri.

Kehidupan di bumi akan menghadapi dampak negatif dan malapetaka luar biasa akibat pemanasan global apabila peningkatan suhu global mencapai angka 2°C. Namun sebagai bentuk kehati-hatian, para ilmuwan menetapkan batas aman sebesar 1,5°C.

Lantas, apa saja dampak pemanasan global yang terjadi jika kenaikan suhu bumi telah mencapai 1,5°C, atau bahkan 2°C? Yuk baca postingan ini sampai tuntas!

{tocify}

Risiko terjadinya bencana banjir naik mencapai 100%

Meningkatnya frekuensi banjir di mayoritas negara akibat pemanasan global dan perubahan iklilm (sumber: publichealthpost.org)

Banjir merupakan fenomena tergenangnya suatu daerah yang seharusnya kering. Salah satu penyebab utama banjir adalah turunnya hujan yang begitu deras hingga mengakibatkan air hujan sudah tidak bisa terserap ke tanah maupun tertampung oleh sungai maupun danau.

Lantas bagaimana kaitan antara banjir dan pemanasan global?

Pemanasan global diketahui meningkatkan risiko terjadinya banjir. Atmosfer yang semakin hangat akibat pemanasan global ternyata mampu meningkatkan jumlah air yang menguap ke udara sehingga semakin banyak air yang jatuh saat hujan.

Banjir menimbulkan banyak dampak negatif, seperti:

  • Kerugian ekonomi yang disebabkan karena lumpuhnya aktivitas ekonomi, terputusnya transportasi, dan rusaknya harta benda seperti rumah, fasilitas umum, kendaraan, dan sebagainya.
  • Masalah kesehatan. Genangan air banjir turut membawa sampah dan kotoran sehingga menjadi sumber penyakit kulit, diaera, tifus, dan berbagai penyakit lainnya yang lebih rentan dialami oleh anak-anak dan lansia. Banjir dengan kedalaman air dan arus yang ekstrem seperti banjir bandang bahkan dapat merenggut korban jiwa.
  • Kelangkaan pangan dan air bersih karena hanyut atau tercemar genangan banjir. Sebagaimana kita ketahui, pangan dan air bersih adalah kebutuhan primer bagi setiap manusia. Kekurangan pangan dan air bersih dapat memperparah masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat banjir.

Peningkatan suhu global sebesar 1,5°C meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir sebesar 100%. Risiko ini akan naik menjadi 170% jika kenaikan suhu global sebesar 2°C. {alertInfo}

Kekeringan parah berdampak pada 350 juta penduduk global yang tinggal di perkotaan

Jika tadi kita membahas kenaikan risiko banjir, sekarang tentang kekeringan.

Secara sepintas, kedua hal ini terlihat bertolak belakang dan tidak berhubungan sama sekali. Pada kenyataannya, keduanya memiliki keterkaitan.

Peningkatan suhu global membuat semakin banyak air yang menguap dari permukaan bumi ke atmosfer. Daerah yang mengalami evaporasi akan semakin rentan terhadap kekeringan, sedangkan daerah lain yang mengalami hujan akan semakin rentan terhadap banjir.

Padahal, sebenarnya kekeringan tergolong sebagai bagian dari siklus iklim yang terjadi secara alami. Namun sayangnya, pemanasan global membuat kekeringan terjadi semakin sering, parah, dan meluas ke berbagai wilayah.

Risiko kekeringan di berbagai belahan dunia (sumber: Statista)

Kekeringan tentu sangat mengkhawatirkan, sebab air adalah penyokong kehidupan. Kita membutuhkan air untuk mempertahankan kehidupan, termasuk untuk konsumsi, mandi cuci kakus (MCK), serta aktivitas pertanian dan produksi pangan.

Saya sendiri sudah pernah mengalami pahitnya kelangkaan air bersih yang terjadi pada tahun 2018-2019. Saat itu sumur di belakang rumah menjadi kering, padahal sebelumnya tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Hal tersebut juga ternyata dialami oleh tetangga, bahkan hingga ke desa sebelah.

Bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti MCK maupun konsumsi, kami sampai harus membeli air galon.

Rupanya pada tahun 2018-2019 memang terjadi kekeringan hebat yang disebabkan karena anomali iklim bernama el nino. Padahal el nino-nya tergolong lemah lho, tapi dampaknya begitu dahsyat! Bogor yang dijuluki kota hujan saja sampai kekeringan. Lantas bagaimana kalau el nino-nya kuat?!

Peningkatan suhu global sebesar 1,5°C mengakibatkan kekeringan parah yang berdampak pada 350 juta penduduk global yang tinggal di perkotaan. Jumlah penduduk terdampak akan naik menjadi 410 juta penduduk jika kenaikan suhu global menyentuh 2°C. {alertInfo}

Perubahan iklim memengaruhi kehidupan 6% spesies serangga, 8% spesies tumbuhan, dan 4% spesies hewan bertulang belakang (vertebrata)

Meningkatnya jumlah spesies terancam, salah satunya akibat pemanasan global dan perubahan iklim (sumber: Statista)

Pemanasan global tidak hanya memberikan dampak buruk terhadap umat manusia. Makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan juga terkena dampaknya.

Hal tersebut disebabkan karena beberapa jenis tumbuhan dan hewan memerlukan habitat dan kondisi iklim tertentu agar bisa tumbuh, berkembang, dan bereproduksi secara ideal.

Jika terjadi perubahan habitat atau iklim, seperti yang disebabkan karena pemanasan global, keberlangsungan hidup hewan dan tumbuhan tertentu bisa saja terancam.

Tidak berhenti sampai di situ, terganggunya sejumlah kecil komponen dalam jaring-jaring atau rantai makanan dapat mengakibatkan reaksi berantai dan mengganggu keseimbangan ekosistem.

Artinya, pemanasan global tidak hanya menyangkut keberlangsungan suatu spesies tertentu saja, namun juga bisa menimbulkan dampak negatif terhadap spesies lain yang berada dalam satu rantai makanan ataupun ekosistem. Dan, manusia juga merupakan bagian dari rantai makanan dan ekosistem kan?

Peningkatan suhu global sebesar 1,5°C mengakibatkan perubahan iklim yang memengaruhi kehidupan 6% serangga, 8% spesies tumbuhan, dan 4% hewan bertulang belakang (vertebrata). Jika kenaikan suhu global menyentuh 2°C, perubahan iklim akan semakin ekstrem sehingga memengaruhi 18% serangga, 16% tumbuhan, 8% hewan bertulang belakang. {alertInfo}

Gelombang panas ekstrem berdampak pada 700 juta penduduk global, setidaknya sekali dalam 20 tahun

Gelombang panas merupakan fenomena peningkatan suhu melebihi suhu rata-rata yang terjadi di suatu daerah pada rentang waktu tertentu.

Agar bisa disebut sebagai gelombang panas, World Meteorological Organization (WMO) telah menetapkan bahwa kenaikan suhu harus minimal 5°C, terjadi selama minimal lima hari berturut-turut, serta dengan kelembapan udara yang tinggi.

Menurut data Environmental Protection Agency US yang dikumpulkan sejak tahun 1960, fenomena gelombang panas di Amerika Serikat terjadi semakin sering, semakin lama, dan semakin intensif. Semakin parahnya gelombang panas berasosiasi dengan perubahan iklim dan pemanasan global.

Meningkatnya frekuensi, durasi, musim, dan intensitas gelombang panas di Amerika Serikat (sumber: US EPA)

Bersyukurnya, menurut BMKG, fenomena gelombang panas kerap terjadi di daerah subtropis. Negara yang terletak di daerah tropis seperti Indonesia seharusnya tidak akan mengalami gelombang panas.

Peningkatan suhu global sebesar 1,5°C mengakibatkan gelombang panas ekstrem berdampak pada 700 juta penduduk global, setidaknya sekali dalam 20 tahun. Jumlah penduduk terdampak gelombang panas ekstrem akan naik menjadi 2 miliar penduduk jika kenaikan suhu global menyentuh 2°C. {alertInfo}

Musim panas tanpa es di kutub utara terjadi setidaknya sekali setiap 100 tahun

Berbeda dengan kutub selatan (antartika) yang terdiri atas daratan luas yang dikelilingi samudra, kutub utara (arktik) sebenarnya adalah samudra luas yang dikelilingi oleh daratan.

Karena Arktik menerima intensitas sinar matahari yang sangat rendah, suhunya menjadi sangat dingin. Air yang berada di samudra Arktik akan membeku dan membentuk lapisan es berketebalan beberapa meter yang luasnya bervariasi sepanjang waktu membentuk suatu siklus.

Pada musim dingin yang panjang, lapisan es pada laut Arktik terus meluas dan mencapai puncaknya pada bulan Maret. Luasnya bisa mencapai 9,7 juta kilometer persegi, atau hampir setara dengan dua kali luas daratan dan lautan Indonesia.

Sedangkan pada musim panas, lapisan es Arktik akan mencair dan mencapai titik terendahnya pada bulan September.

Ternyata, pemanasan global dan perubahan iklim juga turut memengaruhi lapisan es di kutub utara.

Pasalnya, kutub utara mengalami laju peningkatan suhu dua kali lebih cepat daripada daerah lain di planet bumi. Jadi, saat ini suhu di kutub utara telah naik 2-3°C jika dibandingkan dengan zaman sebelum revolusi industri.

Dengan kenaikan suhu seekstrem itu, lapisan es di kutub utara telah mengalami penipisan yang sangat signifikan, dari 3,64 meter pada tahun 1980 menjadi 1,89 meter pada tahun 2008.

Tidak hanya itu, setiap tahunnya luas lapisan es juga turut merosot tajam. Pada Juli 2020, lapisan es di Arktik "hanya" terbentuk 4,5 juta kilometer persegi atau mengalami penurunan sebesar 26% jika dibandingkan pada Juli 1980 dengan luas 6,1 juta kilometer persegi. Selain mengalami penurunan luas, lapisan es yang sudah berumur lama juga banyak yang mencair.

Penurunan luas lapisan es berusia tua di kutub utara (Arktik) mengindikasikan ekstremnya pemanasan global (sumber: Climate.gov)

Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kutub utara akan mengalami musim panas tanpa lapisan es. Sebuah studi yang terbit di Jurnal Nature Climate Change memprediksi bahwa tidak akan ada lapisan es di kutub utara pada musim panas tahun 2035.

Jika lapisan es Arktik terus mencair, permukaan air laut bisa meningkat dan membahayakan kota yang dibangun di sekitar garis pantai, termasuk Jakarta.

Dampak buruk lainnya, pemanasan global akan semakin parah. Secara alami, es pada kutub bumi membantu untuk memantulkan sinar matahari ke ruang angkasa. Tanpa keberadaan es, jumlah panas yang terserap dari sinar matahari akan semakin tinggi.

Selain itu, permafrost atau lapisan tanah beku di bawah kutub utara diketahui menyimpan gas metana dalam jumlah besar. Jika mencair, metana yang merupakan gas rumah kaca akan terlepas ke atmosfer dan memperparah pemanasan global.

Peningkatan suhu global sebesar 1,5°C mengakibatkan kutub utara mengalami musim panas tanpa lapisan es yang terjadi setidaknya sekali setiap 100 tahun. Jika kenaikan suhu global menyentuh 2°C, fenomena tersebut semakin parah karena akan terjadi setidaknya sekali setiap 10 tahun.

{alertInfo}

Air laut meningkat sebesar 48 cm hingga akhir tahun 2100, dan berdampak pada 46 juta orang

Masih terkait dengan poin sebelumnya, salah satu dampak negatif dari pemanasan global adalah meningkatnya ketinggian air laut.

Peningkatan ketinggian air laut dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu memuainya air dan mencairnya es di kutub.

Ketika suhu bumi semakin panas, air laut mengalami pemuaian sehingga volumenya bertambah. Pertambahan volume inilah yang membuat permukaan air laut semakin tinggi.

Selain itu, meningkatnya permukaan air laut juga disebabkan karena mencairnya es kutub sehingga "menambah" jumlah air yang berada dalam kondisi cair.

Meningkatnya ketinggian air laut tentu mengancam kita. Berbagai kota besar di dunia, termasuk Jakarta, umumnya dibangun di dekat garis pantai.

Kota yang terletak dekat dengan garis pantai pasti memiliki pelabuhan yang memudahkan perdagangan dan transportasi sehingga mengalami peningkatan ekonomi yang pesat.

...Dan juga rentan tenggelam.

Menurut data dari World Economic Forum, Jakarta telah "tenggelam" sedalam 2,5 meter hanya dalam 10 tahun terakhir saja!

Dengan laju secepat itu, diperkirakan 95% wilayah Jakarta Utara akan tenggelam pada tahun 2050 mendatang dan berdampak langsung terhadap 1,8 juta penduduk.

Dalam skala global, peningkatan air laut diperkirakan mencapai 48 cm dan berdampak terhadap 46 juta orang pada tahun 2100 mendatang.

Estimasi jumlah penduduk terdampak kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global di berbagai belahan dunia (sumber: Statista)

Tenggelamnya kota dapat memicu migrasi penduduk secara besar-besaran menuju daerah sekitar sehingga meningkatan kepadatan penduduk secara mendadak.

Jika situasinya tidak terkendali, musibah tersebut berisiko memberikan efek domino berupa kelangkaan pangan, air bersih, tempat tinggal layak, hingga menjamurnya kriminalitas.

Peningkatan suhu global sebesar 1,5°C mengakibatkan air laut meningkat sebesar 48 cm hingga akhir tahun 2100, dan berdampak pada 46 juta orang. Jika kenaikan suhu global menyentuh 2°C, permukaan air laut diperkirakan meningkat sebesar 56 cm hingga akhir tahun 2100 dan berdampak pada 49 juta orang. {alertInfo}

Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) menimpa 70% populasi terumbu karang dunia

Terumbu karang adalah ekosistem bawah laut yang terbentuk dari kumpulan biota laut berupa hewan karang yang mampu menghasilkan batuan kapur (CaCO3), dan umumnya bersimbiosis dengan alga laut bernama zooxanthellae. Terumbu karang terbentuk melalui proses yang panjang, bahkan dapat mencapai ratusan tahun.

Terumbu karang memiliki peranan vital bagi ekosistem laut. Secara ekologis, terumbu karang berfungsi sebagai habitat bagi berbagai hewan dan tumbuhan laut untuk tinggal, berlindung, dan mencari makan.

Sedangkan secara fisik, terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dan kehidupan ekosistem perairan dangkal dari abrasi laut.

Selain itu, terumbu karang juga bermanfaat untuk sektor pariwisata dan penangkapan ikan. Terumbu karang dan berbagai makhluk hidup di sekitarnya memiliki bentuk dan warna yang indah sehingga kerap dijadikan sebagai objek rekreasi seperti diving, snorkeling, SCUBA, dan kegiatan fotografi.

Bagi para nelayan, daerah sekitar terumbu karang juga merupakan lokasi yang tepat untuk menangkap ikan, kerang, dan kepiting dikarenakan tingginya biodiversitas di sana.

Dengan beragam fungsi dan manfaat tersebut, sayangnya terumbu karang di seluruh dunia sedang diambang bahaya akibat pemanasan global dan krisis iklim.

Peningkatan suhu secara ekstrem akibat pemanasan global membuat terumbu karang dan alga yang saling bersimbiosis memasuki fase stres. Kondisi stres memicu lepasnya alga yang hidup pada permukaan terumbu karang, mengakibatkan terumbu karang kehilangan sumber utama makanannya dan menjadi lebih rentan terhadap penyakit.

Terumbu karang sehat (kiri) vs terumbu karang mati (kanan) (sumber: thetravel.com)

Adapun ciri fisik yang dapat diamati adalah perubahan warna terumbu karang menjadi putih pucat, atau yang disebut sebagai coral bleaching. Jika terus berlanjut, terumbu karang dapat mengalami kematian yang berdampak buruk terhadap makhluk hidup lain yang tinggal di sekitarnya.

Peningkatan suhu global sebesar 1,5°C mengakibatkan fenomena coral bleaching menimpa 70% populasi terumbu karang secara global. Jika kenaikan suhu global menyentuh 2°C, seluruh populasi terumbu karang di dunia akan musnah akibat coral bleaching. {alertInfo}

Turunnya produktivitas dan nutrisi dari tanaman pangan, khususnya yang tumbuh di daerah tropis

Penurunan produktivitas tanaman pertanian di berbagai negara di dunia akibat pemanasan global (source: Research Gate)

Sektor pertanian sebenarnya adalah salah satu kontributor gas rumah kaca terbesar kedua dan penyebab pemanasan global. Namun, masalah tersebut juga berlaku sebaliknya, yaitu pemanasan global membuat kegiatan pertanian menjadi terganggu.

Dengan adanya pemanasan global, tanaman penghasil pangan akan mengalami penurunan produktivitas dan kandungan zat gizi. Padahal, di abad ini kita dituntut untuk mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup untuk 7 miliar penduduk global.

Ketika suhu global naik sebesar 0,5°C, tanaman pangan akan mengalami penurunan produktivitas dan kandungan gizi sebesar 50%. Artinya, kenaikan suhu sebesar 1,5°C membuat produktivitas dan gizi tanaman pangan menurun sebesar 87,5% dibandingkan sebelum revolusi industri, dan akan naik menjadi 93,8% jika kenaikan suhu mencapai 2°C {alertInfo}

Meningkatnya beban ekonomi yang dialami oleh tiap negara, khususnya bagi negara berpenghasilan rendah

Dampak pemanasan global dan perubahan iklim terhadap estimasi Gross Domestic Product (GDP) tahun 2100 di berbagai belahan dunia (sumber: Hamilton Project)

Terjadinya peningkatan beban ekonomi yang dialami oleh setiap negara sebenarnya adalah bentuk konsekuensi yang ditimbulkan secara akumulatif dari berbagai dampak negatif pemanasan global.

Misalnya, Indonesia diperkirakan harus menelan kerugian fantastis sebesar Rp 1.000 triliun apabila Jakarta benar-benar tenggelam akibat krisis iklim.

Contoh lainnya, pemerintah dan penduduk sekitar Wakatobi akan kehilangan sumber pendapatan sebesar Rp 4 triliun per tahunnya apabila pariwisata tersebut ditutup yang disebabkan lenyapnya terumbu karang (coral bleaching).

Masih banyak contoh lainnya mengenai kerugian ekonomi yang dapat terjadi akibat pemanasan global. dan tentunya, kenaikan suhu bumi sebesar 2°C mengakibatkan kerugian ekonomi yang jauh lebih dahsyat dibandingkan kenaikan 1,5°C. {alertInfo}

Penutup...

Mungkin saja di luar sana masih banyak di antara kita yang menyepelekan dan menganggap kenaikan suhu global sebesar beberapa derajat Celcius tidak begitu penting dan berpengaruh.

Well, kenaikan suhu 1,5°C atau 2°C mungkin tidak begitu besar jika diamati dari pergerakan cairan termometer. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang iklim, ekologi, sosial, maupun ekonomi, kenaikan suhu sebesar 1,5°C atau 2°C saja sudah memberikan banyak malapetaka yang luar biasa mengerikan.

Oleh karena itu, mari kita tingkatkan kesadaran bersama akan pentingnya menanggulangi pemanasan global dan perubahan iklim, sebagai bentuk kasih sayang kita kepada anak cucu di kemudian hari. Selain itu, kita bisa juga menerapkan green lifestyle pada level individual, termasuk menggunakan energi terbarukan seperti biofuel dan biodiesel.

Referensi Artikel

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post