Gambut Tropis: Manifestasi Khazanah Alam Indonesia Sejak 47.800 Tahun

Gambut...

Suatu kata yang sering kudengar di stasiun TV nasional ketika musim kemarau tiba. Saat itu topik yang dibahas berkaitan dengan kebakaran hutan yang sedang melanda Indonesia.

Saat itu, saya sejujurnya tidak benar-benar paham apa definisi lahan gambut. Ya maklum deh, soalnya pembaca beritanya sama sekali tidak pernah menyebutkan kalimat "tanah gambut adalah...". Hehehe.

Awalnya, kukira bahwa tanah gambut adalah suatu lahan tandus dan kering selayaknya hati para jomblo. Plus, tanahnya tidak bermanfaat sehingga wajar saja jika gambut banyak dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan atau industri.

Ternyata, saya salah besar! Hehe

Definisi Lahan Gambut

Usut punya usut, definisi lahan gambut ternyata sedikit nyambung dengan ilmu kimia organik lho!

Lahan gambut adalah lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa pohon, rerumputan, lumut, juga jasad hewan yang membusuk.

Lahan gambut memiliki senyawa karbon dua kali lebih banyak dibandingkan hutan tanah mineral yang ada di dunia. Sudah pasti deh, nilai BOD dan COD dari lahan gambut pasti sangat besar, hehe.

Pembentukan tanah gambut melalui proses alamiah yang sangat panjang. Timbunan jasad makhluk hidup terdekomposisi dan menumpuk selama ribuan tahun sehingga menghasilkan tanah gambut dengan ketebalan tertentu.

Karena terbentuk dari material organik, sudah pasti gambut merupakan reservoar alami bagi karbon. Di sinilah peranan penting gambut, yaitu untuk menjaga keseimbangan siklus karbon yang ada di planet bumi.

Jika lahan gambut terbakar, material karbon organik yang terbentuk selama ribuan tahun akan lepas ke atmosfer hanya dalam sekejap. Waduh, yang ada malah nambah-nambahin emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global!

Definisi gambut (sumber: webinar Pantau Gambut ID)

Oleh karena itu, kita harus memiliki awareness akan isu-isu terkait lahan gambut. Yuk sama-sama belajar!

Mengenal Ciri dan Jenis Lahan Gambut

Karakteristik suatu tanah sangat dipengaruhi oleh unsur penyusunnya. Untuk mempermudah, kita samakan persepsi terlebih dahulu yah!

Berdasarkan komponen penyusunnya, jenis tanah bisa dikategorikan berupa tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut udah tahu lah yah, yaitu disusun oleh dekomposisi material organik. Sedangkan tanah mineral tersusun dari sisa pelapukan bebatuan.

Kita akan menggunakan lima aspek pembanding untuk menjabarkan ciri-ciri tanah gambut dan perbedaannya dengan tanah mineral.

Pertama, massa jenis. Tanah gambut memiliki massa jenis yang lebih kecil (kurang dari 0,1 gram/ml) dibandingkan tanah mineral (0,7-1,4 g/ml).

Artinya, tanah gambut relatif lebih ringan dibandingkan tanah mineral pada volume yang sama. Hal ini disebabkan karena tanah gambut memiliki pori-pori dalam jumlah yang banyak.

Kedua, kemampuan menyerap air. Ibarat sponge, tanah gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang lebih banyak (100-1.300% bobot kering) dari pada tanah mineral (20-35%).

Artinya, lahan gambut juga berperan penting menjaga keseimbangan siklus air. Keberadaan lahan gambut bisa mencegah banjir saat musim hujan sekaligus menyediakan sumber air saat musim kemarau.

Ketiga, kemampuan menyimpan karbon. Tanah gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar (18-60%), lebih besar dibandingkan tanah mineral (0,5-5%).

Artinya, lahan gambut lebih berpotensi untuk terbakar dibandingkan tanah mineral, apalagi jika dalam kondisi kering pada musim kemarau.

Keempat, tingkat keasaman. Tanah gambut memiliki pH yang lebih asam dibandingkan tanah mineral.

Artinya, lahan gambut cocok untuk ditanami komoditas ekonomis yang membutuhkan tanah dengan pH asam seperti penghasil buah (rambutan, jeruk, nanas), penghasil kayu (sengon), penghasil getah (jelutung rawa dan karet), dan sayur-sayuran (daun bawang, cabe dan jagung). 

Kelima, kandungan unsur hara. Tanah gambut memiliki kandungan unsur hara yang lebih rendah dibandingkan tanah mineral.

Sifat dan ciri lahan gambut (infografis pribadi)

See, ternyata tanah gambut memiliki karakteristik yang berbeda banget kan? Implikasinya, aktivitas pertanian di tanah gambut pasti jauh berbeda dibandingkan tanah mineral.

Lebih lanjut, lahan gambut dapat dikelompokkan menjadi empat jenis berdasarkan tingkat kedalamannya:

  • Dangkal, dengan kedalaman 0,5-1 meter,
  • Sedang, dengan kedalaman 1-2 meter,
  • Dalam, dengan kedalaman 2-3 meter,
  • Sangat dalam, dengan kedalaman lebih dari 3 meter.

Jenis lahan gambut berdasarkan kedalamannya (sumber: webinar Pantau Gambut ID)

Semakin dalam suatu lahan gambut menunjukkan semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh alam untuk membentuknya.

FYI, butuh sekitar 2.000 tahun untuk membentuk tanah gambut sedalam 4 meter lho!

Selain itu, kedalaman gambut juga menunjukkan kandungan senyawa organiknya. Semakin dalam, kadar senyawa organiknya juga semakin banyak.

Menyingkap Potensi Gambut Indonesia

Tahukah kamu, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara dengan lahan gambut terluas di dunia, sekaligus peringkat kedua sebagai negara dengan lahan gambut tropis terluas?

Area gambut di Indonesia memegang peranan yang sangat vital bagi eksistensi planet kita.

Kekayaan flora dan fauna di gambut Indonesia (infografis pribadi)

Dengan luasnya yang begitu masif, area gambut Indonesia merupakan hunian nan nyaman bagi 38-40 ribu spesies pohon tinggi, 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, serta 34 spesies ikan.

Ditambah lagi, gambut Indonesia menyimpan setidaknya 53-60 miliar ton karbon, membuatnya sebagai salah satu lokasi reservoir karbon terbesar di dunia setelah Amazon!

Eittss, belum berhenti sampai di situ. Area gambut tropis tertua di dunia berhasil ditemukan di belantara Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Barat. Gambut ini memiliki kedalaman mencapai 18 meter (setara dengan bangunan enam lantai).

Gambut tropis tertua di dunia ada di Kalimantan Barat (sumber: Jurnal Environmental Research Letters

Yang lebih mencengangkan...

Gambut ini diperkirakan telah terbentuk sejak 47.800 tahun yang lalu.

Arti Penting Lahan Gambut

Masih ingat di awal postingan ini, bahwa dulu saya hampir mengira bahwa gambut tidak punya manfaat? Atau jangan-jangan kamu juga begitu?

Mulai detik ini, mari kita sama-sama merevisi asumsi tersebut.

Sebagaimana yang saya sebutkan pada bagian sebelumnya, tanah gambut memiliki sifat seperti sponge. Gambut bisa menyimpan dan melepaskan air, tergantung bagaimana kelimpahan air di sekitarnya.

Pada musim hujan, gambut berfungsi untuk mencegah banjir. Lho, kok bisa?

Iya, karena gambut memiliki kemampuan menyerap air yang sangat tinggi, mencapai 100-1.300% bobot keringnya. Jika diilustrasikan, 1 kg tanah gambut bisa menyerap 1-13 kg air!

Nah, air yang diserap gambut pada musim hujan bisa menjadi sumber cadangan air ketika musim kemarau tiba.

Dari sini, sudah terlihat betul bahwa gambut sangat berperan dalam menjaga keharmonisan rumah tangga siklus air di planet kita bukan?

Selain siklus air, gambut juga berperan menjaga keseimbangan siklus karbon.

Sekarang saja, bumi kita sudah hampir mengalami kenaikan suhu sebesar satu derajat Celcius. Ngga kebayang deh kalau misalnya seluruh karbon di lahan gambut lepas ke atmosfer, amit-amit!

Ditinjau dari aspek ekonomi, lahan gambut bisa menjadi sumber komoditas berharga seperti tanaman dan hewan tertentu.

Karena karakteristiknya berbeda dengan tanah mineral yang kering, pengelolaan gambut melalui agroforestri harus menyesuaikan karakteristik lahannya.

Dan yang tidak kalah penting, gambut merupakan rumah bagi megabiodiversitas satwa Indonesia.

Satwa dan Gambut

Ibarat manusia yang perlu rumah untuk melangsungkan kehidupan, satwa juga perlu tempat tinggal. Gambut dan hutan adalah salah satu contohnya, di mana berbagai jenis fauna bisa hidup berdampingan di sana.

Sebagai bagian dari ekosistem yang saling terkoneksi satu sama lain, kelestarian fauna sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya.

Bagi satwa, suasana seperti di surga berubah menjadi mencekam ketika hutan dan gambut mereka diusik. Ketika hutan dan gambut dibakar, surga bagi mereka langsung berubah menjadi neraka, literally.

Korban satwa pada kebakaran hutan (sumber: webinar dengan Ibu Herlina Agustin)

Selain karena maraknya degradasi hutan dan gambut di Indonesia, laju kepunahan satwa semakin diperparah oleh tingginya kasus animal traficking atau perdagangan hewan, kebakaran hutan, serta perubahan iklim yang cukup drastis. 

Implikasinya, diperkirakan sekitar 50% spesies akan punah sebelum tahun 2100. Negara kita sendiri saat ini menempati laju kepunahan terbesar kedua di dunia setelah Meksiko.

So, menjaga gambut lebih dari apa yang terdengar...

Karena menjaga gambut sama dengan menjaga fauna yang hidup di dalamnya.

Ancaman Bagi Gambut Indonesia

Ancaman kebakaran gambut (sumber: webinar Pantau Gambut ID)

Sayangnya, terlepas dari sejuta manfaat yang diberikannya, saat ini luas lahan gambut di Indonesia terus mengalami penggerusan.

Hanya dalam kurun waktu sembilan tahun, lahan gambut di Indonesia sudah mengalami degradasi sebesar 1,5 juta hektar, dari 14,93 juta hektar (2011) menjadi 13,43 juta hektar (2019).

Salah satu penyebabnya adalah karena lahan gambut kerap dianggap lahan yang terbuang.

Lho, kok begitu?

Berbeda dengan lahan mineral, lahan gambut tergolong lahan yang basah dan bersifat asam. Tanaman yang tumbuh subur di lahan mineral belum tentu tumbuh dengan baik di lahan gambut.

Kasus yang paling mungkin terjadi di lapangan adalah oknum tertentu ingin membudidayakan tanaman yang cocok di lahan mineral, namun di atas lahan gambut.

Kalau ditanya, apakah bisa? Jawabannya bisa.

Caranya? Lahan gambutnya dikeringkan dan dinetralkan keasamannya.

Ketika lahan gambut dikeringkan terus-menerus, sebuah putung rokok saja menjadi sangat berbahaya karena bisa memicu kebakaran.

Kalau sudah terjadi, kebakaran gambut sulit dipadamkan. Bagian atasnya mungkin sudah padam, tapi api bisa saja menjalar di bawah tanah.

Api di bawah tanah bisa bertahan berbulan-bulan, bahkan merambat ke daerah lain.

Dari atas mungkin tidak ada api, namun muncul asap putih yang sangat menyesakkan, plus memicu masalah kesehatan bagi penduduk sekitar.

Kegiatan pemadaman bisa menjadi sangat sulit, soalnya api berada di bawah tanah.

Ngeri banget kan... :(

Bicara Solusi

Rasanya kurang afdol kalau hanya bicara masalah. Pokoknya masalah terus.

Giliran ditanya solusi, bingung hehe.

Nah untuk isu yang kompleks seperti ini, peranan stakeholder mamang sangat dominan.

Dari perspektif stakeholder, pemerintah bisa menerapkan regulasi yang ketat guna memelihara lahan gambut yang tersisa serta merestorasi lahan gambut yang terdegradasi.

Pemerintah sendiri sudah mempunyai instrumen hukum terkait hal ini, seperti:

  • Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2016 dan PP No. 71 Tahun 2014 terkait perlindungan total pada hutan alam, lahan gambut, dan daerah pesisir. 
  • Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019 tentang penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. 

Kita yang posisinya sebagai rakyat biasa rasanya memang tidak bisa berperan secara langsung terhadap isu vital ini.

Itu kalau secara langsung. Tapi kalau tidak langsung, jalannya bervariasi. Yoi ngga?

Kontribusi masyarakat awam untuk gambut Indonesia (sumber: webinar Pantau Gambut ID)

Isu-isu lingkungan, termasuk gambut, rasanya kurang begitu populer di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum kalau penanganan suatu kasus, apa pun itu, biasanya baru serius jika sudah panas mencuat ke publik.

Selain itu, sepinya pembicaraan dan diskusi juga menjadi pertanda bahwa isu ini kurang diperhatikan dan dimengerti oleh publik.

Berangkat dari hal tersebut, kurangnya awareness adalah hal pertama yang harus kita benahi pertama kali.

Di era digital dan internet seperti sekarang, diseminasi informasi untuk meningkatkan awareness menjadi sangat mudah.

Salah satu PR terbesarnya adalah bagaimana pesan tersebut bisa dikomunikasikan dengan cara yang tepat sesuai terget audiensnya.

Semisalnya, blog ini kebanyakan dibaca oleh mahasiswa dan kaum pelajar yang kritis. Karenanya, saya cenderung menggunakan bahasa dan diksi yang terstruktur, sembari diselingi pepatah, istilah, quotes, atau candaan yang relevan.

Jika dilakukan sccara konsisten, ibarat lagi meluluhkan hati doi, efeknya pasti beresonansi secara lebih kuat kan? So, be persistent.

Terakhir, kita bisa menyatukan suara jika memang ada isu yang benar-benar urgent.

Kalau teriaknya sendiri-sendiri, mungkin hanya suara semilir angin. Iya, yang suka jadi noise kalau ngerekam video di luar ruangan.

Kalau rame-rame, siapa tahu jadi "puting beliung" yang bisa menggerakkan keputusan pemerintah, wushhhh...

Revolutionizing noise into voice.

Penutup

Pada akhirnya, saya yakin bahwa Indonesia memang ditakdirkan untuk jadi negara makmur dan maju. Gambut adalah salah satu bukti nyata akan kekayaan alam Indonesia.

Kalau nggak ditakdirkan kaya, mana bisa terbentuk gambut? Soalnya kan gambut memang terbentuk dari dekomposisi makhluk hidup dalam jumlah besar.

Setidaknya, Indonesia sudah terbukti kaya bahkan sejak 47.800 tahun yang lalu.

So, saya percaya takdir Tuhan ini! Tinggal waktunya saja. Entahlah, khusus yang ini saya tidak tahu.

Yuk, tingkatkan kualitas diri menyongsong Indonesia Maju 2045.

Agar kita bisa melindungi apa-apa yang kita miliki...

... Apa-apa yang berharga buat kita,

...Apa-apa yang kita cintai.

Tulisan ini dipublikasikan dalam rangka menyambut Dirgahayu Ke-76 Republik Indonesia. Sumber materi berasal dari webinar #EcoBloggerSquad dengan Pantau Gambut ID dan Ibu Herlina Agustin. Dua infografis dibuat sendiri dengan resources yang diunduh dari Freepik dan Flaticon. Gambar ilustrasi bebas hak cipta diunduh dari Pixabay.

Yusuf Noer Arifin

Menyukai kreativitas, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah. Untuk menghubungi saya, silakan kunjungi halaman kontak ya!

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Jika berkenan, mohon tinggalkan komentar dengan bahasa yang santun dan tanpa tautan. Semua komentar selalu dibaca meskipun tak semuanya dibalas. Harap maklum dan terima kasih :)

Previous Post Next Post